Disorder Keluarga

Program: VOICE OF ISLAM | Rubrik: Keluarga Sakinah | Narasumber: Ir. Ratu Erma Rahmayanti (Pembina Forum Mar’ah Shalihah Pusat Pengembangan Islam Bogor) | Tema: DISORDER KELUARGA

Pengantar

Akhir-akhir ini banyak diberitakan berbagai kejadian dalam lingkup kehidupan keluarga.  Mulai dari kasus kekerasan yang menimpa istri dan anak yang dilakukan oleh suami/bapak, kasus pembunuhan istri oleh suami atau pembunuhan suami yang dilakukan istrinya, kasus bunuh diri istri dan anak-anak mereka, kasus pemerkosaan anak oleh bapak kandung/ tirinya, kasus selingkuh, dan sebagainya.

Ustadzah, seperti yang telah saya paparkan tadi, terjadi peristiwa yang sungguh amat memilukan.  Jika kita kaitkan dengan gambaran keluarga SAMARA yang kita bahas minggu lalu, tentunya peristiwa ini amat aneh bila terjadi pada keluarga muslim.  Bagaimana ustadzah memandang hal ini?

Tentu saja, bila kita standarisasi dengan gambaran keluarga muslim yang semestinya yaitu keluarga yang diliputi ketenangan, cinta dan kasih sayang (keluarga SAMARA) peristiwa-peristiwa tadi mustahil terjadi.  Kasus-kasus diatas secara pasti menunjukkan telah terjadi penyimpangan (disorder).  Mengapa itu bisa terjadi? Mudah untuk dijawab bila kita fahami bagaimana gambaran keluarga muslim sesungguhnya.  Kita faham tujuan berumah tangga, fungsi sebuah keluarga, hak dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi, faham bagaimana caranya menjalankan biduk rumah tangga menurut Islam, niscaya bisa kita telusuri disisi mana terjadi penyimpangan tersebut.

Ambil contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga.  Suami menganiaya istrinya bahkan sampai membunuhnya.  Mengapa bisa terjadi? Bukankah salah satu tujuan dari pernikahan adalah melahirkan ketenteraman (QS ar-Rum [30]: 21).?

Jelas jawabnya, antara keduanya (suami maupun istri, terutama suami) tidak memahami tujuan berkeluarga.  Pernikahan yang semestinya menjadikan seorang suami merasa tenteram dan damai di sisi istrinya, begitupun sebaliknya si istri memperoleh perlindungan dari suami tidak terjadi bila masing-masing tidak faham tujuan berumah tangga.

Bila ditilik lebih jauh, marahnya suami terhadap istri hingga sampai menganiaya melibatkan banyak faktor.  Sebut saja seorang suami yang pulang kerja tidak mendapati di rumah ada makanan yang tersaji.  Dia melihat istrinya dengan santainya tidur pada pagi hari.  Dengan amarah yang tidak terkendali ia menyeret istrinya keluar dan menanyakan menagap pagi itu tidak ada makanan.  Sang istri menjawab dengan penuh kesal bahwa tidak ada uang yang bisa dibelikan makanan.  Melihat sikap istri yang sama keras, emosi suami bertambah-tambah, hingga sampai pada pemukulan.  Bisa jadi pemukulan itu kompensasi dari kelelahan yang dirasakan, emosi yang muncul dari rasa lapar, kesal karena tekanan kehidupan ekonomi yang begitu menghimpit, dan berbagai kondisi lainnya.

Pada kasus tersebut, yang utama memang tidak adanya pemahaman pada diri suami.  Namun juga dipicu oleh kondisi yang membuat ia merasakan beban berat dan tertekan dalam menjalani kehidupan.  Karena itu sebenarnya kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak semata-mata dipicu oleh ketidakfahaman suami/istri, tapi juga karena factor luar yang mendukung.  Sebut saja biaya sekolah, biaya untuk berobat bila keluarga sakit, belum lagi biaya untuk kebutuhan sehari-hari yang serba mahal, membuat tekanan tersendiri pada keluarga saat ini.

Jadi persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi lingkungan masyarakat dan Negara dimana keluarga tersebut tinggal.  Karena harmonisasi keluarga atau kekokohan dan ketahanan keluarga wajib ditopang oleh kekokohan dan ketahanan system di sekitar keluarga tersebut.  Mapannya ekonomi keluarga, ditopang oleh mapannya system ekonomi skala Negara dimana mereka tinggal.  Tak hanya itu ketahanan ekonomi juga didukung oleh kemapanan situasi politik, social dan ideology suatu bangsa.  Bangsa yang tidak ideologis tidak mampu untuk menyelengarakan tata laksana pengaturan urusan warganya secara mandiri.  Secara ekonomi, keamanan dan politik akan bergantung pada pihak lain.

Dalam konteks Indonesia, keluarga Indonesia saat ini tengah mengalami krisis multidimensi yang diakibatkan diterapkannya system kapitalis sekuler yang bertentangan dengan fitrah kehidupan manusia. Akibatnya, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk  tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.

Jadi kasus-kasus diatas tidak semata-mata disebabkan oleh factor internal keluarga itu sebdiri ustadzah?

Ya benar.  Keluarga kan unit terkecil dalam sebuah bangsa.  Bila kondisi bangsanya tidak stabil tentu saja membawa pengaruh langsung pada keluarga.  Coba kita lihat, bila suatu bangsa diguncang krisis ekonomi , terjadi inflasi yang melonjak, bukankah individu masyarakat pasti terkena dampaknya.  Harga-harga kebutuhan untuk hidup melonjak tajam, kondisi ini memunculkan stress dan ketegangan pada mansyarakat karena ini menyangkut hajat hidup mereka yang urgen.

Kalau kondisinya sudah begini ketenangan keluarga juga terancam.  Bukankah salah satu kebahagiaan hidup berumah tangga itu mereka merasakan kebahagian material, dimana kebutuhan hidup mereka tercukupi secara memadai? Jika tidak, bukankah ini masalah?

Atau kondisi bangsa yang membiarkan pornografi dan pornoaksi bebas tersaji di tengah masyarakat, tidakkah ini membawa dampak pada ketenangan hidup suami istri?  Berapa banyak kasus selingkuh seorang suami karena terangsang godaan perempuan yang bukan istrinya diluar sana? Tidak sedikit kan kasus pembunuhan istri/suami yang dilandasi rasa cemburu karena pasangannya bercumbu dengan orang lain.

Bagaimana cara yang tepat untuk menuntaskan lingkaran permasalahan diatas ustadzah?

Pertama, kaum muslimin harus menyadari bahwa persoalan yang mendera keluarga saat ini tidak hanya disebabkan oleh ketidakmengertian suami istri terhadap hukum-hukum Islam yang terkait keluarga.  Tetapi disebabkan pula oleh ketidakstabilan sistem kehidupan skala bangsa.  Kedua, Kesadaran ini membawa pada keinginan yang kuat untuk menyelesaikan persoalan skala bangsa, yang dimulai dengan menyiapkan keluarganya untuk menjadi pelaku perubahan.  Ketiga, aktivitas menyeru pada perubahan diperluas tidak dibatasi pada keluarganya saja, tetapi kepada tetangga, masyarakat dan bahkan pada pemimpin kita yang mengatur urusan rakyat.  Mereka semua diseru untuk mengatur urusan kehidupan (termasuk didalamnya kehidupan domestik/rumah tangga) dengan Syariah Islam.  Insya Allah bila Islam diterapkan dalam skala bangsa, kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah akan terwujud.

Ustadzah, kembali pada kehidupan pergaulan keluarga.  Bagaimana seharusnya pergaulan yang terjadi antara suami dan istri?

Allah Swt. telah memerintahkan untuk menciptakan suasana  pergaulan yang baik di antara suami-istri (QS an-Nisa’ [4]: 19).

Bergaul maknanya adalah berinteraksi secara intens dan penuh canda serta bersahabat dengan penuh keakraban. Allah Swt. juga telah memerintahkan agar para suami bersahabat dengan istri-istri mereka. Persahabatan keduanya akan menciptakan ketenteraman dalam jiwa dan kedamaian dalam hidup.  Seorang suami tidak boleh membuat istrinya cemberut atau bermuka masam—meski dalam perkara yang tidak sampai menimbulkan dosa; senantiasa berlemah-lembut dalam bertutur kata, tidak bertingkah keji dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain selain istrinya. Begitu juga istri, dia melaksanakan ketaatan kepada suami bukan semata-mata karena terpaksa, namun karena ia sangat menginginkannya sebagai gambaran ketaatannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34). Ketaatan istri kepada suami akan dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian di dalam kehidupan suami-istri

Ibnu Abbas pernah bertutur, “Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.”

Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

«?????????? ?????????? ?????????? ??????? ?????????? ?????????»

Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya.  Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku. (HR. Ibnu Majah).

Bagaimana kiat membangun Persahabatan Suami-Istri ?

Pertama, saling memahami. Pernikahan adalah menyatukan dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda dan dua keluarga yang berbeda.  Karena itu, suam-istri perlu saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing, serta menerimanya dengan lapang dada tanpa ada penyesalan yang berkepanjangan. Kadangkala suami mempunyai kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi, sedangkan istrinya kurang. Sebaliknya, istri memiliki kemampuan manajemen, sedangkan suaminya lemah. Kelebihan yang ada pada salah satu pasangan tidak menunjukkan ketinggian orang tersebut, demikian juga kekurangan yang ada pada seseorang tidak menunjukkan dia rendah.  Sebab, tinggi-rendahnya manusia di sisi Allah Swt. adalah karena ketakwaannya. (QS al-Hujurat [49]: 13). Saling memahami akan menjadikan suami-istri berempati terhadap pasangannya sehingga tidak mudah saling berburuk sangka. Sikap saling empati/memahami tidak berarti toleran terhadap kesalahan dan kelemahan yang dapat merugikan pasangannya. Namun, sikap ini memudahkan suami-istri untuk berpikir jernih sebelum memberikan pendapat, kesimpulan maupun penilaian. Kejernihan berpikir akan dapat memudahkan seseorang untuk bersikap dengan tepat dan benar terhadap pasangannya. Dengan itu, masing-masing akan terhindar dari kesalahpahaman yang memunculkan perselisihan dan pertengkaran. (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 19).

Kedua,  Saling mencintai karena Allah Swt.(mahabbah fillâh) antara suami-istri merupakan salah satu perekat persahabatan di antara mereka.  Munculnya cinta karena Allah Swt. disebabkan karena keduanya memiliki keimanan dan melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya. Jika ada yang tidak disukainya dari pasangannya, itu karena ia tidak rela sahabatnya melakukan kemaksiatan dan kemungkaran  kepada Allah Swt. Rasulullah saw.  bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah  karena Allah, berarti ia telah sempurna imannya.” (HR al-Hakim).

Ketiga, saling menerima dan memberi. Salah satu cara untuk mewujudkan persahabatan antara suami-istri adalah keduanya melaksanakan kewajibannya masing-masing sekaligus  memenuhi hak-hak setiap pasangannya. Keduanya saling berlomba untuk menunaikan kewajiban yang akan menyebabkan hak pasangannya akan terpenuhi. Ibnu Abbas pernah bertutur, “Sungguh, aku suka berhias untuk istriku, sebagaimana ia berhias untukku. Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku yang wajib ia tunaikan untukku sehingga aku pun memenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuknya. Sebab, Allah Swt. telah berfirman (yang artinya): Para wanita/istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (QS al-Baqarah [2]: 228).”

Keempat, saling menasihati. Manusia manapun tidak luput dari kesalahan. Persahabatan suami-istri akan mengantarkan setiap orang tidak pernah rela pasangannya melakukan kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak.  Saling memberi nasihat merupakan wujud suatu hubungan yang saling mencintai karena Allah Swt. Sebab, tujuannya adalah dalam rangka menjaga ketaatan kepada Allah Swt. dan menjauhkan pasangannya dari melakukan kemaksiatan kepada-Nya. Nasihat yang disertai dengan  komunikasi yang tepat waktu dan tepat cara (lemah-lembut dan tidak menjustifikasi kesalahan) akan membuat pasangan yang dinasihati merasakan kesejukan dan ketenteraman dalam menerima masukan.

Kelima,saling tolong-menolong. Kehidupan suami-istri adalah kehidupan yang berpeluang mengalami kesulitan-kesulitan seperti beban pekerjaan yang memberatkan, pemenuhan nafkah, pendidikan anak, dan lain-lain.  Saling tolong-menolong akan dapat meringankan beban satu sama lainnya. Pada saat suami tidak dapat menyediakan pembantu rumah tangga, ia dengan rela membantu pekerjaan rumah tangga jika istrinya kewalahan melakukannya. Rasulullah saw. terbiasa menjahit sendiri bajunya yang robek dan memperbaiki sandalnya yang rusak tanpa memberatkan istri-istrinya. Begitu juga istri, pada saat suami mengalami kesulitan dalam pemenuhan nafkah untuk keluarga, tidak ragu-ragu untuk membantu dan meringankan suaminya. Namun, perlu dipahami, saling tolong-menolong bukan berarti kewajiban masing-masing bisa saling dipindahkan atau dihilangkan, misalnya suami mengurus rumah dan istri mencari nafkah. Sikap tolong menolong antara suami-istri akan semakin mempererat persahabatan di antara keduanya.

Keenam, saling memaafkan. Kehidupan suami-istri tidak luput dari berbagai kelemahan, kesalahpahaman dan pertengkaran kecil.  Hal-hal ini akan dapat merenggangkan hubungan persahabatan satu sama lain.  Pada saat salah seseorang dari suami-istri melakukan sesuatu hal yang menimbulkan kemarahan, maka langkah yang perlu disuburkan oleh yang lainnya adalah menahan marah dan mudah saling memaafkan. Saling memaafkan satu sama lainnya adalah kunci untuk memelihara persahabatan antara suami-istri.

Artinya, krisis dalam keluarga sebenarnya bisa diantisipasi oleh anggota keluarga itu sendiri, benar begitu ustadzah?

Ya benar.  Dengan masing-masing faham bagaimana pilar-pilar keluarga sakinah, Insya Allah krisis bisa dihadapi.  Tapi tentu harus diingat bahwa keluarga SAMARA bukan hanya untuk seseorang atau sebuah keluarga saja.  Namun ini harus menjadi gerakan semua orang.  Karena sesungguhnya keluarga SAMARA akan melahirkan generasi pejuang yang akan merubah kondisi buruk suatu bangsa.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *