Antara Maksiat, Musibah dan Dicabutnya Barokah

PYB, Belum lama ini Indonesia dilanda banyak musibah. Mulai dari gempa bumi yang membawa korban jiwa dan harta benda, kapal tenggelam, hingga kebakaran yang memusnahkan banyak rumah-rumah. Bulan Ramadhan yang telah berlalu semoga membuat masyarakat semakin bertambah iman dan taqwa, mengganti apa yang hilang dengan yang jauh lebih baik. Tapi ternyata ada juga kalangan yang tidak peduli. Maksiat jalan terus. Kali ini kita akan berbincang-bincang tentang maksiat, musibah dan dicabutnya barakah. Bersama Ustzh. Ir Lathifah Musa. Beliau adalah Pemimpin Redaksi Majalah Udara Voice Of Islam.

Tapi sebelumnya saya akan berpantun dulu:

Setiap akan memulai aktivitas, kita musti baca bismillah

Semoga semua berjalan lancar dan sesuai dengan ridhoNya

Kalau kita meyakini akan kembali ke haribaan Allah

Mengapa masih saja bermaksiat dan enggap menegakkan syariatNya

Ustadzah, apa ada hubungannya antara maksiat, musibah dan dicabutnya barakah. Karena bukan berarti yang kena musibah itu adalah orang yang bermaksiat kan?

Maksiat adalah ketika manusia meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan Allah SWT dalam al Qur’an dan al Hadits. Maksiat juga berarti melakukan apa yang telah dilarang Allah dan RasulNya. Sederhananya maksiat adalah ketika manusia mencampakkan syariat Allah SWT. Sehingga setiap yang terkategori ini bisa dikatakan maksiat. Kemaksiatan ada yang tingkatannya rendah hingga yang dahsyat. Tentu berbeda antara orang yang berzina dengan orang yang baru mendekatinya (misalnya khalwat). Berzina lebih parah daripada sekedar mendekati, walaupun mendekati zina (khalwat, mencium, berpegangan tangan, berpelukan dll) adalah jalan menuju zina yang sesungguhnya. Demikian pula membuka aurat misalnya. Memang tidak sama antara yang hanya menampakkan bagian-bagian aurat tertentu dengan yang telanjang/hampir telanjang di depan umum. Kategori yang telanjang menunjukkan semakin bejadnya orang yang melakukan maksiat. Sementara musibah, memang persoalan lain. Karena musibah bisa juga berarti peringatan bagi orang-orang beriman yang melakukan maksiat untuk kembali mengintrospeksi diri. Namun musibah juga bisa berarti kecintaan Allah SWT kepada seorang hamba yang memiliki keimanan tinggi untuk mengujinya apakah ia bersabar atau tidak. Setiap yang bisa melampaui musibah dengan baik dan sabar, tetap berpegang teguh kepada syariat Allah, maka derajadnya semakin mneingkat di hadapan Allah SWT. Kedudukannya bertambah cemerlang, pahalanya semakin besar, dan Allah akan mengganti kehilangan-kehilangannya dengan yang lebih baik. Inilah musbah bagi orang yang beriman.

Terkait dengan dicampakkannya syariat Islam, apakah musibah bisa menjadi introspeksi diri?

Ya, tentu jelas sekali. Khususnya bagi orang-orang yang melakukan maksiat, dan pemimpin-pemimpin yang membiarkan atau bahkan melegalkan maksiat. Musibah-musibah yang menimpa negeri ini harus menjadi bahan introspeksi diri. Apalagi bangsa Indonesia ini mayoritas muslim. Ada kewajiban-kewajiban yang harus ditegakkan, yang kalau kewajiban ini ditinggalkan akan mendatangkan bencana bagi umat ini.

Kewajiban apa itu Ustadzah?

Yaitu kewajiban beramar ma’ruf nahi munkar. Kalau ditinggalkan maka akan mendatangkan bencana. Banyak hadits-hadits yang mengabarkan tentang masalah ini. Dari Abu Said al Khudry ra menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: Man raa’a minkum munkaran falyughayyirhu biyadihi fa in lam yastathi’ fabilisaani fa in lam yastathi’ fabiqolbihi, wa dzalika adh’aful iimaan: Siapa saja yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya dan apabila tidak mampu maka ubahkah dengan lisannya dan apabila masih tidak mampu maka dengan membenci perbuatan tersebut dalam hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.(HR Muslim)

Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak menghukum suatu bangsa karena kesalahan beberapa orang di antara mereka, sampai mereka melihat kemunkaran (dilakukan) di antara mereka sedangkan mereka mampu menghentikannya, tetapi mereka tidak melakukannya. Apabila mereke berbuat seperti itu maka Allah akan menghukum orang yang melakukan kemunkaran dan bangsa tersebut.” (HR Ahmad).

Hadits-hadits ini menunjukkan perintah menyuruh kepada kebajikan dan melarang kemunkaran sebagai sebuah kewajiban. Hadits ini juga mewajibkan kaum muslimin untuk menasehati penguasa atas segala perilaku mereka yang melanggar syariat Islam.

Dalam hadits ini juga digambarkan bahwa orang-orang yang bebas melakukan kemaksiatan , sementara masyarakat tidak mencegahnya maka semua akan terkena bencana.

Apakah bisa digambarkan lebih jelas hubungan antara orang yang melakukan kemaksiatan dengan kehancuran atau bencana yang menimpa suatu bangsa?

Ibaratnya sebuah kapal yang penuh berisi orang-orang. Ada yang di bagian bawah dan ada yang di bagian atas. Kalau orang yang di bawah mau mengambil air, maka mereka keatas dulu. Suatu ketika ada satu orang yang mencari mudahnya saja yaitu melubangi bagian bawah kapal untuk mengambil air agar dia tidak perlu melewati orang-orang yang di atasnya[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *