PYB, memang buat yang belum nikah, bayangan tentang pernikahan adalah bagaikan mahligai yang indah. Hidup yang penuh dengan madu. Tapi ternyata tidak sedikit yang menganggap pernikahan adalah penjara, bahkan neraka dunia. Akhirnya mahligai yang awalnya penuh harapan indah harus pecah berantakan dan menyisakan trauma kekecewaan. Apa sih penyebabnya dan bagaimana menghindari rumah tangga yang seperti kapal karam. Kita akan berbincang-bincang dengan Ustzh Ir Lathifah Musa, Beliau adalah Konsultan Keluarga Sakinah dari Klinik Anak Muda untuk Pergaulan Islami. Dalam topic Agar Rumah Tanga Tidak seperti Kapal Karam.
Ustadzah, kok rumah tangga dibandingkan dengan kapal. Bahkan sampai ada peluang karam lagi. Mengapa seperti itu?
Rumah tangga itu memang seperti biduk yang sedang berlayar. Seperti kapal yang mengarungi samudera kehidupan. Dalam pelayaran menghadapi macam-macam kejadian. Ada angina semilir sepoy-sepoy. Nikmat dan menyenangkan. Menghadapi angina kencang. Menghadapi hujan dan angin kencang. Menghadapi badai. Badai kecil ataupun badai besar. Suasana malam yang gelap dan siang yang terang. Itulah gambaran kehidupan. Sehingga rumah tangga memang bagaikan kapal yang mengarungi samudera kehidupan. Suatu saat ia akan berakhir mendarat. Kehidupan juga akan berakhir.
Apa yang diperlukan dalam rumah tangga yang mengarungi samudera kehidupan?
Perlu nakhoda. Islam menetapkan bahwa suami adalah nakhoda rumah tangga. Ar Rojulu ro’in alaa ahlihi wa huwa mas’ulun an roiyyatihi. Laki-laki/suami adalah pemimpin keluarganya dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR Bukhori Muslim dalam lafazh Muslim). Allaw SWT berfirman dalam AQ. Nisa:34 Arrijaalu qowwaamuuna alan nisaa: Laki-laki itu adalah pemimpin kaum perempuan. Jadi untuk lingkup terkecil, suami adalah pemimpin dalam keluarga. Dia harus menjadi nakhoda kapal yang berlayar. Siapa awaknya? Tentu tergantung siapa yang menjadi bagian dari rumah tangganya. Istrinya, anak-anaknya, mungkin orang tua yang ada dalam tanggungannya, mungkin kerabatnya yang tidak mampu dan menumpang di rumah itu, mungkin anak-anak yatim yang dipeliharanya. Semakin banyak anggota keluarganya, maka suami harus semakin piawai menjalankan biduk/kapal rumah tangganya ini. Ketika ia berpoligami, anggota rumah tangganya akan bertambah banyak. Maka suami harus bersiap-siap. Nakhoda bertanggungjawab atas perbekalan seluruh awak kapal. Istri berperan sebagai manajer yang memenuhi keperluan seluruh awak kapal. Karena nakhoda bertanggungjawab mengendalikan dan harus selalu melihat ke depan. Ke sekitarnya, ke lautan lepas, untuk selalu berkonsentrasi agar kapal menuju tujuannya. Nakhoda harus berkonsentrasi terhadap bahaya yang menghadang laju kapalnya, jangan sampai tabrakan, jangan sampai menabrak karang. Jangan sampai salah arah angin sehingga kapal bisa terbalik. Makanya suami berperan seperti ini. Semuanya dalam rangka melindungi seluruh anggota keluarga. Istri memperhatikan seluruh keperluan di dalam. Siapa awak kapal yang belum terpenuhi makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan dll. Istri menjaga agar perabotan rapi, indah dan efektif digunakan. Dia juga bertanggung jawab terhadap kebersihan. Dia bisa mendampingi nakhoda untuk dimintai pendapat. Karena dia adalah asisten utama nakhoda. Dia bisa memberi masukan kalau misalnya ada bahaya. Tetapi dia bukan yang memutuskan. Dia hanya asisten terdekat dan orang kepercayaan utama sang nakhoda. Itu pengandaiannya.
Kalau kapal karam, siapa yang salah?
Yang paling bersalah tentu adalah nakhoda. Walaupun bisa jadi sumber masalah berasal dari asistennya, atau awak yang lain. Misalnya, kondisi kapal tidak nyaman. Dalam rumah tangga keperluan keluarga tidak terpenuhi. Kaptennya lapar, awak kala sengsara karena misalnya istri mengabaikan urusannya. Perbekalan ada tapi tidak disiapkan. Tapi bisa jadi juga, kelaparan ini karena sang nakhoda tidak membawa bekal apa-apa. Tidak punya uang, tidak berusaha memancing untuk mendapatkan makanan dll. Atau nakhodanya terlalu galak, sehingga awaknya semua ngambek. Dan kalau yang ngambek asisten, maka urusan semakin runyam. Bisa-bisa seluruh penumpang tidak makan. Sekalipun saya melihat karamnya kapal karena kepemimpinan tidak mampu mengendalikan. Suami belum bisa menjadi pemimpin yang baik. Istrinya membangkang dia tidak bisa mengendalikan. Istrinya melakukan maksiat ia diamkan. Salah satu kesalahannya adalah karena tidak menyiapkan asisten yang baik. Misalnya menikah dengan seorang istri yang masih lugu, belum punya bekal ilmu agama, modalnya hanya cantik saja. Di situlah sebenarnya suami sebagai nakhoda kapal harus siap-siap mendidik istrinya secara baik agar bisa menjadi asisten yang baik. Kalau tidak, dia akan kesusahan sendiri. Makanya dikatakan mendapatkan istri yang baik, istri yang sholihah yang punya pemahaman agama baik dan ketaatan yang baik, berarti sudah mendapatkan separuh agamanya. Itu berarti suami sangat mudah menjalankan perannya sebagai nakhoda. Apalagi seorang istri yangsholihah akan membantu suaminya dalam kebaikan. Ia akan measehati suaminya kalau kapal mulai salah arah. Ia akan mengingatkan kalau di depan ada karang tajam. Ia akan mengingatkan bahwa kea rah sana ada badai besara baiknya kita menghindari dulu. Ia akan mendampingi suaminya ketika biduk rumah tangganya menghadapi badai kehidupan yang besar. Mislanya suami sakit parah atau suami di PHK, atau suami ditipu sehingga usahanya bangkrut, Maka istri sholihah akan selalu berada di sisi suaminya dengan setia. Menjadi kawannya yang paling dipercaya dan tidak pernah meninggalkannya sampai badai berlalu. Maka bersyukurlah siapapun suami yang punya istri seperti ini. Berarti Allah telah menolong dalam urusan agama.
Apa yang perlu disiapkan ketika mau membangun rumah tangga dan mengarungi kehidupan?
Menyiapkan bekal. Belajar bagaimana kewajiban seorang suami. Tanggung jawab pemimpin rumah tangga. Tanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarga. Kalau yang perempuan belajar bagaimana kewajiban dan tanggung jawab seorang istri terhadap suaminya. Belajar bagaimana menjalankan kewajiban sebagai seorang ibu. Seperti: merawat kehamilan, melahirkan (Wiladah), menyusui (radha’ah), mengasuh anak kecil (hadhanah), mendidik anak usia dini. Yang terpenting adalah keduanya memahami apa tujuan berumah tangga. Mau kemana. Islam mengajarkan bahwa berumah tangga itu dalam rangka menyempurnakan agama. Meraih ridho Allah SWT. Islam juga memberikan arah dan rambu-rambu yang jelas. Siapa yang jadi nakhoda, siapa ynag jadi asisten utama. Bagaimana cara agar tujuan tercapai. Aturan mainnya. Sebenarnya mudah saja. Kalau tujuan berumah tangga sama-sama meraih ridho Allah dan menggapai sakinah mawaddah w rahmah, insya Allah masing-masing akan berusaha sebaik-baiknya.
Saat ini ada pandangan bahwa nakhoda tidak harus suami. Sama-samalah. Suami juga harus turun tangan melayani awak kapal. Istri juga bisa berperan menjadi nakhoda. Atau nakhodanya berdua. Bagaimana memahami ini?
Itulah persepsi yang seringkali menyebabkan kapal karam. Nakhodanya dua. Jadi sering berantem karena masing-masing punya kemauan dan selera berbeda. Tidak ada yang mau taat satu sama lain. Ini juga penyebab mengapa ada istri yang membangkang suaminya. Demikian pula mengapa ada suami yang tidak bisa mengendalikan istrinya. Kondisi rumah tangga juga belum tentu beres. Anak-anak terbengkalai. Padahal Allah SWT sebagai pencipta manusia sudah memberikan rambu-rambu yang jelas. Ketika manusia tidak mau percaya dan mengikuti maka yang terjadi adalah karam di tengah jalan. Suami tidak mau menjalankan kewajibannya, istri juga tidak mau menjalankan kewajibannya. Untuk menjalankan agar biduk rumah tangga selamat sampai tujuan, berpeganglah pada hukum-hukum Allah SWT dalam menjalankan rumah tangga. Saat ini banyak sekali upaya-upaya menghancurkan kapal-kapal rumah tangga muslim, yaitu dengan menjauhkan mereka dari hukum-hukum Islam. Mereka sudah masuk ke ranah UU. Bagaimana agar peradilan agama tidak lagi memasukkan pemahaman agama. Yang terjadi adalah upaya menggunting hukum-hukum dalam keluarga. Istri diarahkan untuk tidak taat. Bahkan bercerai dan menjadi single parent jauh lebih baik. Inilah cara-cara musuh-musuh Islam menghancurkan keluarga dan masyarakat muslim. Poligami dan pernikahan yang tidak tercatat secara sipil walaupun sah secara agama akan dilarang dan dianggap pidana. Sementara pelacuran, persleingkuhan dan sek bebas tidak pernah diusik[]