Budaya Meramal Nasib

Program: VOICE OF ISLAM | Narasumber: Ir. Nanik Wijayati (Pengasuh “woman’s chating on islam) | Tamu: Ayu (Profesional Muda di Jakarta) | Tema: Budaya Meramal Nasib

Latar Belakang:

Boleh jadi zaman semakin modern dan teknologi semakin canggih, namun tak bisa dipungkiri bahwa masih banyak manusia modern yang berprilaku seperti masa jahiliyah.  Salah satunya adalah budaya meramal nasib. Rupanya budaya yang dekat dengan dunia ghaib, magic atau tahayul ini juga masih digandrungi oleh orang-orang yang notabene berpendidikan tinggi. Kenapa ini bisa terjadi? Mari kita simak bincang-bincang kita kali ini dalam rubrik Female Chatting, dengan tema “Budaya Meramal Nasib”.

Ngomong-ngomong soal meramal nasib, saya mau tanya ke Mbak Ayu dulu nih. Apakah di kalangan teman-teman Mbak Ayu, para profesional muslimah juga ada yang suka meramal nasib?  Melalui media apa saja biasanya mereka membaca ramalan nasib mereka?

Ya, banyak! Biasanya sih media yang paling gampang diakses kan majalah. Saya kira hampir semua majalah wanita pasti kan ada rubrik ramalan bintangnya. Nah itu adalah bagian yang biasanya nggak ketinggalan dibaca. Ada juga yang memanfaatkan stand2 ramalan yang suka ada di pameran, mall atau acara-acara tertentu. Sekarang malah di internet juga mudah mengakses ramalan bintang.  Atau penewaran lewat sms kan mulai berkembang.

Saya agak heran nih Mbak Ayu, apa sih yang memotivasi para profesional percaya sama ramalan nasib? Padahal mereka kan kalangan intelek/ berpendidikan tinggi? Kok masih percaya dan tertarik untuk meramal nasib? Ramalan apa yang biasa digemari para profesional?

Yaah…. kalau dipikir lucu juga sih. Mungkin karena sudah dikemas secara profesional, jadi ramalan bintang itu seolah dekat banget dengan kehidupan para profesional. Caranya kan nggak kayak harus datang ke gunung, bawa kembang & kemenyan untuk nanya ke mbah dukun gitu, hi hi serem ya!  Lagi, ramalan yang dibahas kan nggak jauh-jauh dari persoalan kehidupan, seperti soal jodoh, rejeki, asmara, sahabat, dll, yang itu semua amat terasa dalam pergaulan kita sehari-hari. Jadi, ya nggak ngerasa aneh, biasa saja.  Motivasinya mungkin berbeda-beda ya, ada yang iseng saja, ada yang memang sedang mencari jawaban atas persoalan yang dia hadapi. Kalau soal percaya, ya ada yang percaya nggak percaya sih, tapi ada juga yang percaya setengah mati, he he…

Kita coba tanya kepada narasumber kita, menurut Mbak Nanik kenapa sih kok  budaya meramal nasib masih banyak terjadi di tengah masyarakat Indonesia khususnya, padahal zaman semakin modern ?

Saya kira dengan mengamati perkembangan kehidupan manusia saat ini, cerita Mbak Ayu tadi merupakan salah satu bukti bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu berkorelasi positif terhadap komitmen untuk menolak ramalan atau tidak mempercayai ramalan.  Demikian juga dengan tingkat kekayaan atau ketinggian teknologi, ternyata sama saja, kekayaan atau teknologi itupun justru digunakan untuk memodernisasikan bentuk-bentuk ramalan nasib. Hal yang paling mendasar yang mempengaruhi sikap manusia untuk tidak mempercayai ramalan nasib adalah aqidah/ iman.  Orang yang tingkat pemahaman aqidahnya benar dan mendalam, akan dengan mudah memahami bahwa prilaku percaya pada ramalan itu sama dengan prilaku orang yang bodoh, bahkan lebih tajam lagi sama dengan prilaku orang yang syirik atau menyekutukan Allah SWT. Na’udzubillahi muin dzalik! Jadi, yang berpengaruh terhadap budaya meramal nasib ini adalah bukan modern atau tidaknya kehidupan, namun tinggi atau tendahnya tingkat pemahaman terhadap aqidah Islam. Kalau di Indonesia masih banyak yang suka dengan ramalan nasib, ini menunjukkan apa? Sudah tahu jawabannya kan? Bagaimana dengan prilaku orang di negara2 maju? Sama saja! Bahkan lebih parah!

Jadi, sebenarnya boleh nggak kita percaya kepada hasil ramalan seorang peramal, paranormal, dukun, orang pintar atau apalah namanya?

Bagi orang yang beriman, tentu jawabannya satu, TIDAK! Dalam perkara yang ghaib, Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya QS Al An’aam: 59/ Al Jin: 26-27/ Al A’raf: 188. Ini menjadi dalil bahwasannya hanya Allah lah yang mengetahui kunci-kunci perkara yang ghaib, dan tidak seorang pun mengetahuinya. Maka, bila ada seseorang yang mengaku-aku bisa memastikan hal yang ghaib, sesungguhnya dia telah kafir kepada Allah, mengadakan dusta terhadap-Nya dengan terkaan, taksiran dan kebohongan. Jelas kiranya sebagai seorang muslim, kita tidak boleh mempercayai segala bentuk ramalan nasib.

Masih ke Mbak Nanik nih, lalu, bagaimanakah pandangan Islam terhadap prilaku manusia yang suka meramal nasib?

Penjelasan Imam Al Qurthubi terhadap ayat ke 26-27 surat Al Jin di atas menegaskan bahwa ramalan bintang itu tak ada faedahnya sama sekali, dan tidak menunjukkan celaka atau bahagiannya seseorang.  Bahkan secara tegas beliau menyatakan bahwa ramalan tersebut merupakan bentuk penentangan terhadap Al Qur’an yang agung. Jadi, sebenarnya karena kebodohan mereka terhadap agama itulah menyebabkan mereka terjerumus percaya dengan ramalan yang sesungguhnya perilaku itu sama dengan perilaku orang-orang musyrik. Hal-hal yang ghaib itu dalam pengetahuan Allah SWT, dan disampaikan kepada manusia dalam bentuk wahyu melalui rasul yang dikehendaki oleh Allah SWT, tidak ada jalan lain.  Karenanya, seharusnya seorang muslim yang benar adalah lebih yakin dengan apa yang ditegaskan dalam Al Qur’an dari pada apa yang dikatakan oleh para peramal.

Menurut pengalaman dan pengamatan Mbak Ayu, faktor apa yang bisa mengubah seseorang, dari yang semula percaya sama ramalan nasib menjadi betul-betul nggak butuh & nggak percaya lagi sama ramalan apapun?

Ya, seperti yang dijelaskan Mbak Nanik tadi, sebenarnya akar masalahnya kan kebodohan manusia dalam masalah aqidah.  Saya sendiri dulu termasuk penggemar ramalan bintang, tapi setelah ngaji dan paham bahwa itu salah, ya saya tinggalkan tanpa beban. Jadi, kuncinya Cuma satu, meningkatkan pemahaman aqidah!

Bagaimanakah sikap Rasulullah saw dan para sahabat menghadapi orang-orang yang suka membuat ramalan?

Rasulullah saw juga hidup pada masa dimana masyarakatnya sangat kental dengan perilaku syirik.  Bahkan pada saat putra beliau Ibrahim meninggal, disaat yang sama terjadi gerhana matahari, langsung sebagian masyarakat merespon gejala alam ini ada hubungannya dengan kematian Ibrahim. Lalu Rasulullah saw berkhutbah: “Bahwa matahari dan bulan itu adalah 2 ayat dari ayat-ayat Allah, tidaklah keduanya gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang”. Dalam kitab tafsirnya, Imam Al Qurthubi menceritakan riwayat Ali bin Abi Thalib saat menghadapi ramalan seorang saat Ali memutuskan untuk berangkat berperang lalu dilarang oleh seseorang dengan argumen bahwa sat itu bulan sedang dalam rasi scorpio, sementara yang lainnya menyarankan untuk menunda keberangkatannya tiga hari lagi agar memperoleh kemenangan dan terhindar dari bencana. Sikap dan jawaban Ali sangat tegas: “Kami mendustakan dan menyalahi perkataanmu. Kami akan berangkat pada waktu yang kamu larang untuk berangkat. Wahai manusia hindarkanlah diri kalian dari belajar ilmu perbintangan, kecuali dari apa yang dapat menunjuki kalian dari kegelapan darat dan laut. Seorang peramal bintang tak lain adalah seperti tukang sihir, dan seorang tukang sihir adalah seperti orang kafir, dan orang kafir tempatnya di neraka!”

Apa saran-saran Mbak Nanik buat para muslimah berkaitan dengan budaya meramal nasib ini?

Tinggalkan budaya meramal nasib, jika ingin iman kita terjaga dan tidak tercemari oleh karat-karat perbuatan syirik. Ayo mengaji dan mengaji, biar kita semakin ngerti dan tidak terjebak ke dalam perbuatan syirik.

Kesimpulan

  1. Budaya meramal nasib adalah budaya yang diharamkan oleh Islam, dan termasuk kategori perbuatan syirik.
  2. Se-modern dan secanggih apapun cara dan hasil ramalan nasib, tetap saja itu merupakan dusta dan haram untuk kita percayai.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *