Membasmi Budaya Plagiarisme

Program: Voice of Islam | Rubrik: Editorial | Narasumber: Ir. Lathifah Musa | Tema: Membasmi Budaya Plagiarisme

Salah satu berita yang menyita perhatian media massa belum lama ini adalah kasus seorang Guru Besar di sebuah Universitas Negeri, terbukti melakukan plagiarisme. Apa itu plagiarisme? Jangan-jangan ini juga marak di sekitar kita. Dan bagaimana mencegah dan membasmi plagiarisme agar tidak menjadi budaya, kita akan membahas dalam tema MEMBASMI BUDAYA PLAGIARISME bersama Usth Ir Lathifah Musa. Beliau adalah Pemimpin Redaksi Majalah Udara Voice Of Islam

Ustadzah, apa yang dimaksud dengan plagiarisme?

Plagiarisme itu kata lainnya adalah menjiplak atau mencontek. Tetapi menconteknya bukan sekedar kata atau kalimat atau paragraf, namun sudah satu judul atau tema karya orang lain. Dan kemudian karya tersebut diakui sebagai miliknya.

Sebenarnya kasus plagiarisme yang menimpa seorang Profesor, Guru Besar Universitas Negeri itu seperti apa sih?

Ini berita sekitar tanggal 25 Agustus 2011. Tetapi di kalangan akademik masih menjadi perbincangan hingga saat ini. Saat itu seorang guru besar Universitas Riau, seorang Profesor terbukti melakukan plagiarisme dalam membuat buku berjudul Sejarah Maritim. Buku tersebut merupakan jiplakan dari buku Budaya Bahari karya Mayor Jendral (Marinir) Joko Pramono, terbitan Gramedia tahun 2005. Dalam sidang Komisi Etika ditambah unsur Guru Besar Senior di Universitas tersebut, profesor tersebut dinyatakan bersalah melakukan plagiarisme.

Bagaimana kasus tersebut bisa terungkap?

Kasus ini terungkap karena laporan dari salah seorang mahasiswa yang menemukan adanya kemiripan antara buku sejarah maritim dengan buku budaya bahari. Penulis buku budaya bahari sendiri juga menemukan bukunya dijiplak kira-kira dua bulan yang lalu. Kemudian sang penulisnya melaporkan kepada Dirjen Dikti, Rektor Universitas Riau dan Gubernur Riau.

Ustadzah, konon katanya yang bersalah melakukan copy paste karya tersebut adalah asisten sang profesor, yakni seorang dosen di Universitas yang sama. Jadi sang profesor tersebut sebenarnya tidak tahu kalau asistennya menjiplak buku orang?

Tetap saja kesalahan terbesar adalah pada guru besar tersebut. Berarti selama ini yang menulis buku adalah asistennya, atau mungkin muridnya atau mungkin mahasiswanya yang kemudian diaku menjadi karyanya. Kalau sekedar mengedit dan meng-acc tidak terlalu sulit. Yang sulit adalah melakukan risetnya. Seringkali terjadi memang, penelitian atau hasil skripsi seorang mahasiwa kemudian diaku menjadi karya dosen pembimbingnya. Dosen tersebut hanya melakukan penulisan ulang dalam bahasa Inggris kemudian mengirimkannya ke jurnal internasional atau ajang lomba karya tulis internasional. Kalau kemudian menjadi juara, maka gelar tersebut dimiliki oleh sang dosen pembimbing. Sementara mahasiswa yang melakukan riset di lapang tidak tahu menahu masalah ini. Ini adalah bagian dari ketidakjujuran akademik. Inilah yang mungkin terjadi pada guru besar tersebut. Guru besar tersebut ternyata dikenal sangat produktif menulis buku. Ia bahkan pernah mendapat piagam dari Musium Rekor Dunia Indonesia (MURI) tahun 2008 atas karyanya menerbitkan 66 buku dalam tempo lima tahun. Salah satu dari 66 buku yang masuk museum rekor MURI itu adalah Sejarah Maritim.

Ustadzah, sepertinya karena nila setitik rusak susu sebelanga. Itulah yang terjadi pada guru besar tersebut. Karena bisa jadi 65 buku yang lain adalah karyanya. Bagaimana menanggapi statemen ini?

Sekarang publik menjadi ragu, apakah benar 65 buku yang lain adalah karyanya? Bagaimana kalau itu adalah karya asisten-asistennya? Bagaimana kalau itu adalah karya mahasiswa-mahasiswa yang  dibimbingnya? Bagaimana kalau itu adalah hasil plagiarisme juga? Keraguan ini wajar karena intelektualitas adalah karakter. Ketika ditemukan ketidakjujuran dalam satu aspek akademik, maka itu tentu bersumber dari karakter sesungguhnya personal tersebut. Seorang intelektual, ia tidak akan tinggal diam terhadap nilai kejujuran karyanya. Kalau sampai guru besar tersebut tidak menyadari bahwa buku sejarah maritim yang disusun asistennya adalah jiplakan buku orang lain, maka itu keterlaluan. Kalaupun itu bukan hasil jiplakan, maka itu juga keterlaluan, karena berarti juga bukan karyanya, melainkan karya asistennya. Berarti pekerjaan menulis buku baginya sekedar menulis pengantar dan judul saja.

Bagaimana ustadzah memandang fenomena plagiarisme di sekitar kita?

Sepertinya sudah menjadi budaya. Terbukti di dekat universitas negeri atau swasta ada plang menerima jasa penulisan skripsi. Bahkan tesis pun bisa dipesan.  Saat ini banyak orang sekolah untuk mengejar gelar. Karena untuk mendapatkan legalitas, sebuah sekolah misalnya sang kepala sekolah harus punya gelar S2. Akhirnya kepala sekolah pun mengejar gelar S2, sekedar sekolahnya mendapat legalitas. Untuk kenaikan pangkat, jabatan, gaji dan tunjangan, maka seorang dosen harus memiliki karya-karya. Maka dikumpulkanlah karya-karya dengan gagasan apa adanya, sekedar mendapatkan sertifikat. Intelektualitas yang sesungguhnya menjadi hilang. Kalau dulu yang penting adalah ilmu, orang tak peduli dengan secarik kertas. Tetapi sekarang bergeser menjadi secarik ijazahlah yang terpenting. Ilmu bukan lagi yang utama. Kenapa? Karena dengan ijazah, gaji bisa naik. Kalau ilmu, belum tentu gaji naik.

Ustadzah, bagaimana mencegah berkembangnya budaya plagiarisme?

Pertama, menanamkan karakter kejujuran.  Orang yang tidak jujur, tidak layak menjadi intelektual atau ilmuwan. Karena bisa-bisa dia berbohong dalam menyampaikan ilmu. Akibatnya bisa fatal. Kedua, menghargai ilmu dan memahami makna berilmu yang sesungguhnya. Ketika seseorang menghargai ilmu, maka ia akan bisa membedakan mana orang yang berilmu dan mana yang bukan. Gelar yang berderet tidak akan bisa menipunya. Penghargaan yang terpajang juga tidak akan menyilaukannya. Orang yang memahami ilmu akan bisa memecahkan masalah dan menjawab berbagai persoalan terkait ilmunya. Seseorang yang gelarnya berderet, jabatannya macam-macam, tetapi ketika ditanya ilmunya kosong, maka derajadnya akan terpuruk. Sementara seorang tanpa gelar dan jabatan, tetapi bisa memecahkan masalah orang lain dengan ilmunya, maka derajadnya akan meningkat. Ilmu bagaikan cahaya. Ia akan menaikkan derajad orang yang memilikinya. Untuk itu harus ditanamkan pada diri kita, bahwa kewajiban kita adalah menuntut ilmu, bukan mencari ijazah atau gelar.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *