Mengembalikan Akar Sejarah

Oleh: M. Iwan Januar, S.IKom

Kehancuran Khilafah Turki Utsmaniy

Dalam sebuah artikel seorang sosiolog dan sejarawan mengeluhkan rendahnya kesadaran dan pengetahuan bangsa ini akan sejarahnya sendiri. “Masak begitu melihat KH Agus Salim, anak sekolah komentar ‘kok kumisnya mirip tukang sate, ya’.” Sama sekali tidak ada respek dan penghargaan terhadap perjuangan ulama yang satu ini.

Sejarawan tadi tidak sendirian, Adhyaksa Dault yang pernah menjabat menteri pemuda dan olahraga pernah berkomentar dengan nada miris ihwal tipisnya pengetahuan anak bangsa tentang sejarah, “Kalau ditanya siapa Fatmawati,  yang kebayang paling ayam goreng Fatmawati,” katanya sambil menyebut nama sebuah rumah makan sohor di Jakarta.

Tapi yang paling memprihatinkan adalah umat seperti tidak pernah tahu bahwa mereka adalah bagian dari sejarah pergolakan dan kejayaan sebuah umat yang besar, umat Islam dunia. Bahwa tanah air ini masih belum kering dari cucuran keringat dan simbahan darah para alim ulama dan mujahidin dalam membebaskan tanah air dari penjajahan.

Ketika sejarah ditulis pun penuh dengan distorsi. Umat memandang sosok Diponegoro, Teuku Umar, Pattimura, sampai Panglima Besar Soedirman, M. Natsir, KH. Mama Abdoellah bin Noeh, hanya sebagai pahlawan lokal yang perjuangannya kedaerahan dan kebangsaan. Padahal darah syuhada mengalir kencang dalam tubuh sebagian besar para pahlawan kita.

Bangsa ini pun seolah menikmati ‘kemerdekaan’ ini dengan gratisan tanpa perlu merasa berhutang budi kepada para ulama dan mujahidin tersebut. Nasib dua janda pahlawan yang nyaris terpidana adalah kasus rendahnya apresiasi bangsa ini terhadap para pahlawannya. Jangan ditanya pula penghargaan mereka terhadap para pejuang Islam. Dalam penulisan sejarah tidak pernah dicantumkan agama dan motivasi perjuangan mereka, yakni jihad fi sabilillah. Bangsa ini pun seperti mengalami amnesia mutlak, lupa terhadap akar sejarah Islam yang demikian kental di tanah air.

Melupakan sejarah bukan saja membuat umat ini lupa menghargai para pahlawannya, tapi yang paling fatal juga membuat mereka lupa dengan prinsip-prinsip kehidupannya sendiri, yakni dienul Islam. Bayangkan kaum muslimin merasa asing dengan karakter asli mereka sendiri sebagai muslim. Ada kelompok muslim yang demikian keras menentang kampanye penerapan syariat Islam. Bahkan sekedar labelisasi ‘halal’ pada makanan saja sudah dicecar habis-habisan oleh orang yang menyatakan diri mereka muslim.

Masih dalam tataran syariat, tidak sedikit muslim yang phobi dengan perjuangan penerapan syariat dan khilafah, sekalipun mereka adalah para dai. Fikih syariat apalagi khilafah menjadi sesuatu yang ganjil untuk disuarakan. Banyak dai dan politisi muslim lebih fasih bicara tentang demokrasi, nasionalisme, Islam moderat, meski hal itu tidak pernah ada dalam sejarah apalagi kitab-kitab fikih para ulama salaf.

Padahal saat Khilafah Islamiyyah terakhir yang berpusat di Turki dihancurkan seorang agen Inggris yang bernama Mustafa Kamal at-Taturk, dunia Islam meratapinya, termasuk para ulama di tanah air. Saat Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang Khilafah pada bulan Maret 1924, dibuatlah sebuah komite Khilafah yang didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Guliran usul ini selanjutnya diperkuat dalam Kongres Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924, yang antara lain memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.

Dua tahun berikutnya ketika diadakan Kongres Khilafah pada tanggal 1 Juni 1926 di Makkah, kembali ulama Nusantara berperan aktif. Saat itu KH Mas Mansur bersama H.O.S Cokroaminoto berperan aktif menjadi salah satu utusan dari Mu’tamar Al-‘Alamul Islami Far’ul Hindish Syarkiyyah (MAIHS), Kongres Islam Sedunia Cabang Hindia Timur (yang semula bernama Konggres Al-Islam).

Sekarang, umat merasa ganjil dengan konsep kehidupan mereka sendiri. Fikih khilafah tenggelam di antara riuhnya demokrasi, HAM, republik, dan ajaran-ajaran asing. Padahal Syaikh Ali Belhadj, seorang mujahid dakwah Aljazair, yang pernah memimpin partai Islam FIS, menulis sebuah buku berjudul Tanbihul Ghafilin bi an I’adatil Khilafah, yang berisikan kumpulan pernyataan para ulama salaf tentang urgensi dan kewajiban penerapan syariat dan khilafah. Tidak ada satupun ulama sunniy yang menentang atau berbeda pendapat tentang kewajiban yang agung ini.

Karena melupakan sejarah, sebagian dari umat justru menjadi penentang sejarah, karakter dan dien mereka sendiri. Mereka berpendapat bahwa risalah Allah bisa ditunda pelaksanaannya, bahkan bisa diganti dengan ajaran buatan manusia. Na’uzubillahi min dzalik!

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”(QS. an-Nahl: 116).

Presiden RI Soekarno pernah mempopulerkan istilah ‘jas merah’, kepanjangan dari ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Tapi apa lacur, sejarah umat ini telah tercerabut secara sistematis dari tubuh umat. Dan hal itu dimulai dari penulisan sejarah itu sendiri. Termasuk bagaimana Presiden RI pertama ini memuja-muja Mustafa Kamal sebagai reformis negeri Turki,  yang membawa Turki pada kemajuan. Padahal Mustafa Kamal tidak lebih dari agen Inggris yang menikam jantung umat dengan pisau beracun, yang nyerinya hingga kini belum kunjung pudar.

Mengajarkan sejarah bukan saja memperkenalkan umat ini pada beragam momen dan pelaku-pelaku sejarah, tapi juga mengajarkan karakter asli umat Islam dan aturan hidup mereka. Hal inilah yang coba dikubur oleh para penulis sejarah yang keji. Mereka ingin agar akar sejarah umat tercerabut dari tubuh umat. Sejauh ini mereka berhasil membuat umat Islam menjadi penderita amnesia berat.

Tugas para dai-lah untuk mengembalikan akar sejarah itu, menyadarkan umat, bahwa mereka adalah umat yang besar dan memiliki aturan kehidupan yang agung.

Hanya saja, bila para dai-nya pun telah mengidap amnesia, lupa dengan akar sejarahnya, maka mereka justru berada di garda terdepan yang akan membuat umat mengalami amnesia massal. Menentang dien mereka sendiri. Na’uzubillahi min dzalik![]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *