“Bom” Elpiji

Akibat ledakan gas epiji | www.kompas.com

Teror bom yang paling dahsyat akhir-akhir ini ternyata tidak datang dari teroris. Tetapi dari tabung-tabung gas hasil konversi yang dikirim oleh pemerintah ke rumah-rumah rakyat kecil. Hampir setiap hari terjadi ledakan gas elpiji subsidi pemerintah ini. Setiap saat rakyat dihantui ketakutan bahwa rumah mereka adalah sasaran berikutnya. Mengapa persoalan ledakan gas semakin menghantui masyarakat? Apakah memang rakyat kecil tidak pantas hidup wajar? Kita akan berbincang-bincang tentang teror Bom Elpiji. Bersama Ustzh. Ir Lathifah Musa. Beliau adalah Pemimpin Redaksi Majalah Udara Voice Of Islam.

Tapi sebelumnya saya akan berpantun dulu:

Di balik gunung ada sang Naga

Ingin memangsa orang tak berpunya

Ketika nyawa jelata tidak lagi berharga

Dimana pengayom rakyat yang sesungguhnya

Ustadzah, soal ledakan elpiji, sepertinya sekarang semua yang terlibat lempar tangan. Sebenarnya siapa yang harus bertanggung jawab?

Seharusnya setiap hal yang menimpa rakyat adalah tanggung jawab pemerintah. Tetapi kondisi seperti sekarang semakin menunjukkan bahwa pemerintah mulai nyata-nyata menampakkan ketidakpeduliannya. Istilah fiqhnya kezhalimannya. Di negara manapun, kejadian-kejadian seperti ini akan menyeret penguasanya agar bertanggung jawab. Masalah adanya pihak-pihak swasta yang terlibat dalam program konversi ini, itu kan juga di bawah tanggung jawab pemerintah. Sehingga pemerintahlah yang layak bertanggung jawab.

Ini kan program besar dan massal, yang resikonya juga sangat berat. Mengapa bisa terjadi kegagalan dengan ledakan-ledakan dimana-mana?

Kembali lagi, inilah wajah pemerintah kita.  Program ini adalah konversi penggunaan minyak tanah menjadi gas, dalam rangka menekan biaya sekaligus mengurangi dampak pemanasan global. Tetapi program ini sangat tidak memperhatikan sama sekali keamanannya di tengah rakyat. Pertama, karena rakyat kecil yang menggunakan gas bersubsidi ini. Kedua, mereka adalah orang-orang yang sangat awam menggunakan bahan bakar gas. Ketiga, ini yang terbukti sangat kejam, program ini dilaksanakan secara serampangan yang sejak awal seharusnya sudah bisa diduga dampaknya akan memuncul ledakan-ledakan. Setelah timbul banyak ledakan dan diteliti penyebabnya, maka ternyata faktor ini seharusnya sudah bisa diduga, khususnya oleh pihak yang secara teknis menjalankan program ini. Keempat, program ini kenyataannya hanyalah kamuflase agar selanjutnya rakyat tergantung pada bahan bakar gas dan mereka kemudian harus juga mengeluarkan biaya besar. Walaupun awalnya gratis, tetapi ini hanya pancingan untuk berikutnya mereka membeli peralatan masak gas dengan berbagai komponennya. Dengan demikian keuntungan tetap saja dimiliki oleh produsen. Rakyat semakin menjerit. Pemerintah, kenyataannya mendiamkan. Dan sadar atau tidak, itu adalah bentuk kejahatan terhadap rakyat.

Tadi Ustadzah menjelaskan, seharusnya ini sudah bisa diduga sejak awal. Mengapa bisa begitu?

Program konversi gas sudah dimulai kira-kira dua tahun yang lalu. Rakyat dibagi-bagi tabung gas ukuran 3 kg, kompor gas tunggal, selang dan regulator. Mereka mulai menggunakan kira-kira dua tahun yang lalu. Ternyata menurut  Dirjen Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka (ILMEA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Anshari Bukhari, secara umum yang menyebabkan masalah bukan tabungnya. Tapi juga komponen peralatan lainnya seperti kompor dan selang serta regulator. Sesuai rekemondasi dari pabrikan, ia mengungkapkan masa pakai selang tabung gas hanya enam bulan. Jadi kalau usia pakai selang sudah enam bulan, masyarakat harus mengecek betul kondisi selang tersebut. “Kalau sudah retak sebaiknya diganti”. Nah, kenapa baru dijelaskan sekarang kalau selang itu masa pakainya hanya enam bulan. Masayarakat sudah hamper dua tahun menggunakan selang yang sama. Sebelumnya mereka tidak diberitahu harus ini harus itu apalagi membeli selang yang baru. Selang yang dijual umum itu mahal. Lengkap dengan regulatornya bisa mencapai 75 ribu. Ini tidak akan bisa terjangkau oleh rakyat kecil. Apakah pemerintah memang membiarkan saja supaya rakyat tidak tahu sehingga tidak bisa menolak program konversi ini. Kalau sudah begitu siapa yang salah? Jelas pemerintah yang membiarkan rakyat menggunakan komponen yang berpotensi meledak. Jadi kalau dikatakan sekarang banyak yang meledak, itu wajar karena sudah lebih dari enam bulan. Jahat sekali kan!

Setelah menyadari, rencananya kompor dan peralatannya mau ditarik oleh pemerintah?

Kan seharusnya sudah sejak awal usia pakai yang enam bulan itu. Seharusnya diumumkan dan langsung ditarik. Jangan menunggu sampai dua tahun baru ditarik. Apakah rakyat kecil ini adalah kelinci percobaan untuk menguji masa pakai sebuah selang atau kompor atau tabung? Jadi kalau ada yang meledak, baru bilang: Ooo…. meledak, berarti sudah saatnya ditarik. Wah, nunggu berapa banyak lagi korban meledak? Ini kan menunjukkan bahwa nyawa rakyat itu tidak berharga. Pemerintahan seperti ini, apa tidak takut pertanggungjawabannya di akhirat?

Bagaimana rekomendasi untuk mengatasi bom elpiji ini?

Bapak-bapak yang masih sayang sama rakyatnya: harus meneliti daerahnya masing-masing (ini karena pemerintah pusatnya terkena penyakit kronis hati. Termasuk anggota DPRnya). Lihatlah ke rumah-rumah yang dibagi kompor dan tabung itu. Tarik saja semua. Karena memang sudah kadaluarsa.  Jangan menunggu daerahnya jadi korban bom elpiji. Bagaimana dengan yang belum konversi. Ya jangan. Sudah tau banyak korban. Kalaupun mau koncersi gunakan peralatan berstandar nasional. Masalahnya sekarang rakyat disuruh beli. Dengan harga pabrik. Yang untung siapa? Ya pengusaha lagi. Sekarang realistis aja, apa rakyat sanggup membeli selang standar nasional yang harganya minimal 42500. Untuk makan aja sekarang susah sekali. Harga-harga naik. Inflasi meningkat.

Ustadzah, sekarang banyak yang trauma dengan gas, akhirnya cari minyak tanah. Tapi kok minyak tanah sudah hilang ya?

Memang masih ada, tapi sudah tidak terjangkau lagi harganya. Minimal 10000 per liter. Kok bisa begitu? Inilah alasan konversi ke gas. Pemerintah sayang kalau minyak tanah digunakan rakyat. Mengapa? Karena kalau dijual di luar negeri harganya lebih mahal. Kalau dijual di dalam negeri kan masih terpaksa subsidi. Apalagi pemerintah sudah terikat perjanjian dengan Bank Dunia serta IMF (AS) untuk mencabut subsidi. Supaya apa? Agar hutang dikucurkan. Kalau hutang mengalir mereka kan dapat fee. Bisa  dikorupsi juga. Masalah yang bayar nanti adalah anak cucunya, sudah tidak peduli lagi. Jadi penyakit hati kronis sudah semakin parah. Kalau dibiarkan bisa membusuk.

Kalau dalam Islam, sikap seperti ini ganjarannya apa Ustadzah?

Bukan ganjaran, tapi ancaman. Karena apa yang dilakukan oleh pemerintah ini adalah sebuah kejahatan. Pengkhianatan terhadap rakyat. Allah SWT dan RasulNYa mengancam dengan ancaman yang berat. Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslimin kemudian ia mati, sedangkan ia menipu mereka, kecuali Alah mengharamkan surga untuknya (HR al Bukhari-Muslim)

Bagaimana seharusnya pemimpin dalam Islam?

Pemimpin seharusnya memiliki sikap amanah. Pemimpin sangat takut apabila ada rakyatnya yang terzhalimi walaupun hanya seorang. Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin  adalah pengurus rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusan rakyatnya (HR Bukhori-Muslim)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *