Utang

By: Aminah Mustari

Pukul empat sore di perpustakaan. Uahhh… pegal! Sejak pagi tadi aku sudah menunggu perpustakaan ini buka. Kenapa juga pukul sembilan baru buka? Jam masuk di kampus ini kan pukul setengah delapan! Rutukku tadi pagi di depan perpustakaan. Kalau sedang dikejar menyelesaikan skripsi begini, menunggu memang amat sangat menyebalkan. Setengah jam pun berarti. Kubereskan buku-buku perpus yang berserakan menjadi tumpukan dan kutinggalkan di atas meja. Skripsi-skripsi aku kembalikan ke Pak Aman yang sudah sangat mengenalku. Tiga buku tua dalam genggamanku kubawa ke meja pinjam. Hanya buku-buku ini yang boleh aku bawa pulang ke rumah. Tiga puluh menit kemudian aku sudah menyandarkan kepalaku di badan kereta listrik menuju stasiun Tebet.

Sudah sebulan rutinitas ini menjadi makanan sehari-hari. Pergi pagi pulang sore hanya sesekali menghadiri kuliah yang memang sudah tersisa sedikit. Tinggal menyelesaikan skripsi. Di rumah mengetik bahan-bahan yang didapat dari perpus. Biasanya aku sangat menikmati waktu menyusunnya di depan komputer. Ditemani segelas kopi panas sehabis mandi dan shalat Maghrib, enak rasanya menyorongkan kaki ke kolong meja komputer sambil mendengarkan lantunan syair Teman Sejatinya Brother. Tapi kini aktivitas itu jadi hal yang paling menyebalkan. Bayangkan, ditengah kejaran dosen pembimbing, aku harus berkompromi dengan komputer berprosessor payah itu. Hobinya hang atau rebooting. Suara CPUnya yang mirip jangkrik itu semakin menyebalkan untuk telingaku.

ooOoo

Pukul delapan. Baru saja aku mandi. Wangi cologne segar tercium dari badanku. Ditemani sepiring dadar gulung bikinan Mama, aku mencoret-coret secarik kertas. Kutipan-kutipan untuk bahan skripsi. Oke, sudah siap bahannya, tinggal aku ketik dalam file yang kusimpan di komputerku. Masih ada waktu dua jam untuk menyusunnya. Aku selalu memberi batasan waktu untuk pekerjaan di malam hari, karena tubuhku sering tak bisa kompromi jika terlalu diforsir.

Tombol stabilizer aku tekan. Lampu indikatornya aktif, menyala berwarna merah. Dengung halus mulai terdengar meningkahi derik kipas angin tua di sudut kamar. Tombol monitor menyusul ku tekan. Lalu CPU. Ceklik! Belum nyala, kurang keras mungkin. Ceklik!

Ceklik!

Ceklik!

Haaa??? Kok lampunya tidak menyala?

Ceklik!

Tiba-tiba aku panik. Terbayang file-file dokumen skripsi yang sudah tersimpan manis di harddisk. Waaaa…. Dokumenku mulai ditumbuhi dua sayap di kanan kirinya. Pelahan ia tak lagi menjejak dan kehilangan bobot. Oh… No!

Kutekan tombol aktif telepon selularku. Kucari nama Rudy dalam phone book. Kutekan mode panggil.

“Rud, tolongin… komputerku mati.”

“Kenapa?”

“Nggak tahu. Nggak bisa aku nyalain,” ucapku putus asa.

“Paling power supply-nya.”

“Nggak tahulah. Cepat ke sini ya.”

“Sekarang?”

“Iya.”

“Jam setengah sembilan? Kamu tanggung jawab kalau Mamamu ngamuk-ngamukin aku ya.”

“Nnnng… ya udah besok siang deh.”

Siangnya Rudy ke rumah. Entah dia bicara bahasa apa. Yang jelas butuh uang 400 ribu untuk bikin komputer itu berfungsi.

ooOoo

“Mbak, komputernya rusak ya?” todong Aji di ambang pintu kamarku. “Ogut harus bikin proposal nih,” ucapnya seenaknya. Dan masih saja bahasa ogut-ogutan itu dipakainya. Coba ada Mama di sini, pasti kena semprot anak itu. Teu kapok-kapok, yeuh!

“Iya,” ujarku sekenanya sambil mengubek-ubek tasku, mencari buku referensi yang kupinjam dari perpus kampus. Duh, kalo ilang gaswat nih! Ransel hitam bututku yang gede itu memang penuh dengan berbagai macam barang; HP, organizer, buku, kamus, kaos kaki, jaket, tempat pensil, tempat tidur, lemari… eh, itu mah isi kamarku! Pokoknya penuh sekali! Aku termasuk anak jalanan, suka menginap di rumah teman kalau ada keperluan. Seringnya berkaitan dengan skripsiku ini.

“Benerin dong, Mbak!” Ya ampun, anak itu merengek! Belum pernah makan sandal apa dia?

“Kamu tuh, memang ngebenerin komputer bisa pake tongkat sihir apa?”

“Enggak bisa.” Lho? Polos atau mau bikin aku panas?

“Udah tau nggak bisa, ya udah!”

“Tapi Ogut harus ngasih proposal ini lusa. Kalo enggak….”

“Betulin sendiri gih,” potongku.

“Ogut nggak bisa….”

“Ya udah.”

“Bawa ke Farhatan deh, betulin di sana.”

“Duitnya?”

“Nggak ada.”

“Ya udah.”

“Mbak?”

“Sama.”

Gubrakk!

Pembicaraan kami tertutup, seiring dengan pintu yang dibanting oleh Aji. Kenapa juga jadi dia yang ngambek. Padahal masalahnya cuma proposal kegiatan ekskulnya, bukan seberkas dokumen yang menentukan masa depanku di kampus kuning itu.

Tensiku sedang naik akhir-akhir ini. Skripsi yang tak kelar-kelar dan komputer yang hobinya hang membuat kepalaku jadi sering berdenyut. Mana kondisi keuanganku sedang menipis. Fotokopi bahan-bahan skripsi itu lumayan membengkakkan pengeluaranku. Minta pada Abah membuatku malu sendiri. Sepertinya, tak henti-henti aku menggelendoti punggungnya dengan biaya-biaya. Uang kuliahku rasanya sudah membuat punggungnya bungkuk! Memangnya Papa ikan paus!

Orderan sedang sepi. Biasanya aku mengerjakan proyek-proyek terjemahan dan mengajar privat bahasa Inggris. Lumayan untuk fotokopi, membeli buku-buku, dan operasional kuliah Sayangnya baru saja klienku yang tajir itu pindah ke Amerika. Dari mana lagi ya, aku dapat uang? Pinjam teman? Wah… no way! Bukan tipeku!

Ha…! Tiba-tiba sebuah bohlam berpijar di otakku. Aku kan masih punya piutang! Dua bulan lalu Uwi meminjam uangku sebanyak lima ratus ribu untuk bayar DP kontrakan. Uwi teman kuliahku yang sudah menikah dan punya anak satu. Katanya sih sebenarnya bukan karena dia sudah tidak punya uang sepeser pun untuk membayar kontrakan, tapi karena dia agak kesulitan untuk mendapatkan uang cair dengan segera. Sementara dia harus segera membayar DP itu kalau ingin rumah kontrakannya tidak dioper ke orang lain.

Sip! Kuraih telepon genggam di atas kasur secepat kilat. Jempol kananku bergerak lincah di atas keypad. Hatiku sedikit berbunga-bunga membayangkan komputer bututku bisa menyambung nyawa lagi. Setidaknya untuk sementara.

“Wi, bs balikin uangku gak? Aku lg btuh nih. klo bs cpt. Kompieku ngadat.”

Tulisan dengan huruf kapital muncul di layar ponselku berbarengan dengan pijatan jempolku di atas tombol-tombol ponselku. Message sent. Tit tiitt. Delivered. Kutunggu sebentar, report, yah… pending. Sedikit kecewa kumasukkan 2100 pink itu ke dalam tempat pensil. Kuraih lagi pensil, kemudian melanjutkan mencoret-coret kutipan dari buku skripsi bersampul putih yang berserakan di hadapanku.

ooOoo

Lama tak ada balasan dari Uwi, orang yang barusan aku kirimi pesan. Sedikit kesal di hati. Aku sudah menghabiskan sekian pulsa, tapi tak jua balasan SMS itu datang dari Uwi. Sederhana saja, aku hanya minta uang pinjamannya kepadaku yang gopek itu dikembalikan sekarang-sekarang ini. Tidak mungkin aku mengandalkan komputer di rental. Bisa habis jatah makanku sehari-hari. Belum lagi fotokopi-fokopi, ngeprint. Dan terbayang aku mesti duduk manis dan kepanasan di kursi rental yang tak bersandaran, padahal aku bisa selonjoran sambil membiarkan rambutku dimainkan angin yang digerakkan oleh kipas besar di pojok kamarku. Oh, no way! Dan yang paling penting, aku ingin segera melihat dokumen-dokumen skripsiku yang tersimpan di  harddisk. Apakah ia baik-baik saja? Hiks….

Aku coba sms berulang kali tapi tak pernah dibalas. Oke, mungkin tak ada pulsa. Aku telepon. Kenapa sih tidak diangkat-angkat kalau sedang aktif? Sampai aku kesal dan sedikit berprasangka. Kali ini terakhir sebelum aku melabrak. He… he… memangnya jagoan?

“wi… tlng dong, aku butuh sekali uang itu.”

Sent. Delivered. Report. Yess! Terkirim

Krrrk… krrk… krrkk. Bunyi message alert tone-ku. Dibalas!!!

“Maaf rin, anakku sakit. kmrn uangnya kepake berobat

Ha? Yah… gimana ya? Kuketik balasannya,

“Ya udah. usahain minggu ini ya?”

“Insya Allah.”

Ok.  Berarti tinggal nunggu minggu depan.

ooOoo

Kuliah Kajian Prosa. Tiga puluh menit berlalu. Ruangan hening ini sudah terisi penuh. Hanya terdengar suara keras Bu Mia yang agak macho. Sepertinya tak ada yang berani terlambat hari ini. Peraturan yang dibuat Bu Mia dengan sukses terlaksana. Sepertinya…. Upss… nggak juga….

Sebuah kepala dengan jilbab putih menyembul dari balik pintu. Uwi. Jilbabnya nampak berantakan.

“Maaf Bu, boleh masuk?”

“Anda tahu peraturannya kan?”

“Ya Bu. Maaf… anak saya sakit.”

Bu Mia terdiam sejenak, lalu melangkah keluar pintu. Kelas mulai rame dengan bisik-bisik tetangga. Tak lama Bu Mia masuk lagi diikuti oleh Uwi. Kelas dimulai lagi. Uwi duduk di kursi paling depan, dekat pintu. Sayang… pengennya sih bicara tentang kebutuhanku akan komputer. Nanti sehabis kuliah deh.

Bel berbunyi ringan. Aku suka bel kampus ini, suaranya imut, nggak bikin sakit telinga. Nadanya juga nggak norak. Pletak-pletok sepatu hak tinggi Bu Mia terdengar menjaduh keluar, beliau selalu tepat waktu. Segera kuhampiri Uwi yang nampak sudah berdiri dari tempat duduknya.

“Wi, tolong paling telat hari Rabu ya. Skripsiku jadi terhambat gara-gara komputer rusak itu.”

“Iya,” jawab Uwi singkat dan datar. Matanya tak menatapku. Mungkin malu.

“Katanya kamu dulu janji mau balikin dua minggu setelah minjem. Lupa ya?” tanyaku dengan nada menggoda. Inginnya Uwi tertawa.

“Iya. Maaf ya, Rin,” timpalnya singkat. “Aku duluan ya. Assalamu ‘alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

ooOoo

Hari Rabu. Sudah seminggu aku suntuk karena sama sekali tak bisa mengerjakan skripsi. Sudah mulai bosan dengan lembaran-lembaran kertas berisikan coret-coretan yang mulai tak jelas dibacanya, karena aku menulisnya dengan pensil.

Seminggu ini juga aku tidak melihat Uwi di kampus. Wah… kemana tu anak? Apa takut aku tagih, jadi nggak mau menampakkan batang hidungnya di depanku. Biasanya aku nggak terlalu mempermasalahkan utang, prinsipku kalau dibayar alhamdulillah kalau nggak ya itung-itung shodaqoh. Sebelum utangnya ini pun Uwi pernah berutang juga, and seingatku belum dibayar. Tapi aku sudah lupa dan nggak ambil pusing. Cuma kali ini aku memang butuh banget. Dan Uwi bilang kali ini yang pinjem suaminya, bukan dia. Kemarin aku sudah mengirim SMS pada Uwi sekali, tapi belum dibalas. Coba deh sekali lagi.

“Wi, uangnya dah ada kan? pnting bht nih. taruhannya masa depanku!”

Satu, dua, lima menit kemudian baru ada sms masuk. Balasan dari Uwi.

“Maaf ya rin, gak bs skrg insya Allah lusa deh. pls. gpp ya?”

Ughh… bikin angot! Gimana sih, janjinya hari ini.

“Duh, gmn ya wi. kan janjinya skrg?”

“Iya. maaf rin, uangnya kepake.”

Kepake? Perasaan itu alasan pertamanya deh? Basi baget sih! Niat bayar apa nggak sih si Uwi ini? Kayaknya dia jadi kebiasaan deh, seenaknya aja. Biar dia merasa ditekan, aku hiperbolis sedikit deh…. Upss, hiperbolis atau bohong nih?

Aku dah janji bayar servis komp hr ini. gmn dong? mang kepake bwt apa sih?

“Afwan rin. utk rmh skt dan urusan pemakaman.”

Ha? Pemakaman? Urusan apa lagi nih?

“PEMAKAMAN?”

Tulisku dengan huruf kapital

“Anakku. Dia meninggal. DB. Tlg doakan.”

Degg! Jantungku serasa lepas.

Allah… begitu sibuk dengan tagihan, aku bahkan belum menanyakan kabar anaknya hingga saat ini.[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda edisi 09/2005]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *