Dela

“Saudara sebagai seorang ketua sangat tidak bertanggung jawab! Ketika semua bekerja keras, Anda malah tidak datang dengan alasan ketiduran! Ketua macam apa itu!”

Dia berkata dengan keringat yang menetes dan muka merah sambil menunjukkan jarinya kepadaku. Entah bagaimana ekspresi wajahku waktu itu, yang kurasakan hanyalah cengkeraman tangan Adi di bahuku.

“Kami bukannya budak yang dapat saudara suruh seenaknya. Kami di sini belajar berorganisasi, bekerja sama, dan membina persaudaraan, bukannya memupuk sikap diktator dan tak tahu diri!”

“Kamu keterlaluan!” Aku sudah tidak sabar mendengarkan omongannya. Telingaku rasanya terbakar.

“Kamu tidak berhak menuduh saya demikian! Apa buktinya kalau saya bersikap diktator?”

Sungguh di luar dugaan, dia tersenyum! Sungguh! Dia melihat seluruh peserta rapat dengan senyum tipis di bibirnya. Semua peserta terdiam.

“Coba Anda tanyakan pada peserta rapat tentang sikap Anda. Instrospeksi dirilah Bung!” Dia duduk di kursinya. Suara kursi bergeser itu terasa menyakitkan telinga dan ruangan itu kembali sepi seperti kuburan. Kupandangi mereka satu per satu dan mereka hanya menunduk.

Tiba-tiba dering bel mengejutkan kami. Kepala mereka tengadah menatapku. Segera aku berusaha menguasai diriku, “Baik, silakan Pendamping Kelas kembali ke posisi masing-masing dan bagian inspeksi segera bergabung dengan kelompoknya masing-masing!”

Begitu aku selesai bicara, ruangan itu dengan cepat berubah menjadi kosong.

“Raka, ayo, kita harus segera inspeksi!” Kutatap mata Adi, dia menunduk.

“Kamu juga setuju dengan dia Di?”

“Ah sudahlah, jangan dipikir, kerja kita masih banyak.”

Memang benar katanya. Ini adalah hari kedua Penataran P4 siswa baru. Masih ada empat hari lagi. Tapi kata-kata Dela tidak bisa kuabaikan begitu saja. Di dalam organisasi ini dia tergolong orang baru walaupun dia berkemampuan tinggi. Dia tidak seperti aku atau Adi, juga Ratna, Sari, Joko, Fitri, dan Dimas yang sudah dua tahun ikut organisasi di SMU ini. Begitu beraninya dia mempermalukan aku di depan orang banyak. Rasanya aku ingin menonjoknya, untung saja dia cewek.

“Ayo Raka!” Adi sudah tidak sabar.

“Sudah, kamu saja yang inspeksi, aku malas.”

“Lho, Raka!” Kutinggalkan Adi begitu saja.

Ya, memang salahku tidak datang pada hari pertama Penataran P4, dan otomatis Dela sebagai wakilku yang harus menanggung semua itu. Bukankah itu sudah tugasnya? Aku tahu kemampuannya walau dia masih baru, dan itulah sebabnya dia terpilih jadi wakilku. Tapi sungguh tidak adil kalau dia mempermalukan aku sebegitu rupa.

Sejenak kuamati papan pengumuman itu. Rupanya daftar kelas tiga yang baru sudah disusun. Ah, aku memang keterlaluan, aku tahu kalau kertas itu sudah menempel di situ sejak seminggu yang lalu, dan selama itu aku santai-santai di kamarku sambil sesekali nonton tivi dengan mama. Aku memang meninggalkan tugasku begitu saja, dan justru kata-kata Dela yang jujur seolah-olah menelanjangiku di depan orang banyak.

Dela Ardiana! Sialan, aku harus sekelas dengannya. Entahlah, tiba-tiba suatu pikiran jahat menelusup otakku.

ooOoo

Dengan cueknya dia mengecat kertas itu. Kuakui dia memang jago melukis. Herannya, orang bilang kalau seniman (yah, setidak-tidaknya dia pantas disebut seperti itu) itu perasaannya halus. Tapi tidak dengannya, dia berkali-kali melakukan tindakan ‘kasar’ seperti menolak cinta seorang laki-laki (yah, dalam hal ini aku tahu dari Adi, karena Adi sendiri pernah ditolaknya) dengan kata-kata yang mengejutkan, muka tak berekspresi dan meninggalkan mereka tanpa salam atau kata-kata halus. Selain itu dia tidak suka bercanda dengan cowok. Kata-katanya pendek-pendek dan tenang, ah, bukan tenang, tapi tegas. Dia juga tidak suka ngumpul-ngumpul di pesta ulang tahun. Benar-benar cewek yang menjengkelkan!

“Aduh!” Dilihatnya cat air merah itu tumpah dan membasahi kertas itu. Dia memandangku dengan tajam.

“Waduh, maaf ya, nggak sengaja, makanya kalau naruh cat jangan sembarangan! Kalau gini, madingnya nggak jadi-jadi!” Dia memalingkan mukanya dan menyobek kertas itu sambil melirikku dengan pandangan mata yang tajam. Sekejap aku merasa seram melihat roman mukanya.

“Mas Raka, ayo pulang dong!” suara manja Tika seolah-olah menyelematkanku dari pandangan mata Dela.

“Ayo!” Kuambil tas ranselku dan kupeluk pinggang Tika menjauh darinya.

“Lho, kok Mas Raka senyum-senyum sendiri?”

“Nggak apa-apa kok Tik.”

Usahaku tidak berhenti sampai di sana. Mading yang ditempelnya tiga hari kemudian diam-diam kucopot dan kurobek-robek lalu kubuang di sampah. Kubuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali.

Dan benarlah! Satu sekolah gempar!

Dan kulihat wajahnya menegang, merah, berkeringat, dan berkerut-kerut. Sepanjang hari itu dia terlihat gelisah di kelas. Aku tahu hal inilah yang paling membuatnya susah. Dia sangat menghargai karya seni, terutama karyanya sendiri. Apalagi mading itu adalah mading terakhir di penghujung masa tugasnya. Rasakan!

ooOoo

“Raka, ada temannya datang!” Mama memanggilku dengan suara soprannya.

“Sebentar Ma! Sialan, siapa yang datang jam segini. Seharusnya mereka tahu kalu jam segini waktuku untuk bersiap-siap untuk apel ke rumah Tika.

Dela tersenyum di kursi merah itu. Kulihat wajahnya berkeringat. Aneh tidak seharusnya orang berkeringat di malam seperti ini.

“Maaf mengganggu Raka.”

“Ya, ada apa?”

Dia mengetuk-ngetukkan jarinya di lengan kursi.

“Dela mau minta maaf. Dela merasa bersalah karena mading…” dia menatapku, aku mencoba tenang sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.

“Sudahlah, memang jahat orang yang melakukan itu, tapi aku sudah maklum kok Del.” Aku ingin segera menyelesaikan pembicaraan. Aku ingin dia pergi secepatnya dari hadapanku.

“Terima kasih. Ah, iya, Dela mau minta tolong sama Raka.”

“Ya?” Aku mulai curiga.

“Sebentar.” Dela keluar, kuikuti dia. Dia berjalan ke Katana merahnya dan kembali dengan sebuah gulungan kertas.

“Ini, maaf kalau tidak sebagus yang dulu, Dela sudah mulai ada try out.”

“Lalu?”

“Tolong Raka yang menempelkan, mungkin lebih aman. Tak ada yang berani menyobek kalau Raka yang menempelkan kan?” Dia tersenyum. Sungguh! Senyumnya membuatku merasa seperti ditusuk-tusuk sebilah pisau tajam. Dia seperti tahu semuanya. Dia seolah-olah menganggapku anak kecil yang ketahuan berbohong kepada ibunya.

“Ma kasih ya Ka, Dela pulang dulu.” Dia pergi dengan kepulan asap mobilnya.

Aku sudah tidak ingin pergi ke rumah Tika, juga menerima telepon dari Adi atau Irwan yang mengajakku jalan-jalan.

ooOoo

Entahlah, sejak saat itu aku sangat suka melihatnya. Kuperhatikan bagaimana eskpresi mukanya ketika mendengar sesuatu yang lucu. Keringatnya yang menetes ketika sinar matahari begitu kejam meradiasi kulitnya yang kuning langsat, juga bagaimana dia selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Sesungguhnya dia sangat cerdas dan berani.

Dia juga agak pendiam. Dia tidak suka mendengar pembicaraan yang kacau atau ngerumpi seperti biasa yang dilakukan cewek-cewek. Dia juga tidak pernah naik Katana-nya ke sekolah. Dia lebih suka membonceng di belakang Rahma, teman sebangkunya yang berjilbab itu, dan dia suka sekali berjalan-jalan ketika istirahat. Entah ke kantin, ke perpustakaan, atau sekadar berjalan!

“Lihat apa Ka?” Sodokan lengan Adi membuatku kaget. Aku diam.

“Kamu lihat-lihat Dela lagi.” Nadanya seperti mengeluh.

“Aku tidak suka kalau kau mengejarnya, kamu sudah cukup menyakitinya!”

“Siapa sih yang ingin dekat dengan anak sombong seperti dia?” Adi menatap mataku tajam-tajam. Matanya menyelidik seolah-olah ingin menelanjangiku.

“Kita duel pulang sekolah nanti di rumahku!” Lalu Adi berdiri dan permisi ke belakang.

Sudah kesal rasanya menjelaskan pada Adi bahwa aku tidak bermaksud mendekati Dela dan memujanya. Dia selalu bilang padaku bahwa dia tidak pernah tergila-gila pada seorang perempuan seperti itu.

“Kamu suka dia! Bangsat! Pengecut!” Tiga hantaman dari tangannya yang berat menghantam rahangku.

Aku tahu kalau aku akan kalah. Dia pandai berkelahi, dan terlebih dia ikut karate sejak SMP.

“Ayo ngomong! Satu tinju lagi mendarat di perutku.

“Di, sudah! Sudah!” Tak ada yang dapat kuperbuat selain menghindar. Tak ada yang akan memberiku pertolongan walaupun aku menjerit sekuat tenaga. Halaman rumah Adi luasa, dan rumahnya kosong! Pembantu-pembantu itu tak akan bisa berbuat apa-apa.

“Ngomong bangsat!” Lalu satu pukulan lagi. Dan aku terkapar!

“Oke, oke, kamu benar! Oke!” Kurasakan nafasku hampir mencekik tenggorokanku.

“Ya, aku mulai menyukai dia! Ya, mungkin aku jatuh cinta padanya!” Mataku terasa berkunang-kunang.

“Pulanglah!” Dia melemparkan ranselku dan sebuah agenda. Kucoba untuk duduk di rerumputan itu. Seorang pembantu Adi yang kutahu bernama Inah membawakan segelas air es.

“Agenda siapa ini?”

“Dela.”

“Dari mana kau dapatkan dini?”

“Kamu tak usah tahu. Buka halaman terakhir!”

Kubuka agenda hitam berlogo OSIS itu. Sebaris puisi tertulis dengan rapi:

Pertengkaran

Untuk Raka

Atmosfir dingin melingkupi kami

Bukan hal yang terbaik dari keinginanku

bicara jujur

itu saja

karena selebihnya aku cinta padamu

Dan kau mengembalikan cintaku dengan

sebuah tusukan jitu

tepat di nyawaku

Surabaya, 26 Agustus 1997

Tiba-tiba perasaanku sangat kacau. Kulihat wajah Adi, sebuah genangan air di sekitar matanya.

“Di, kamu?”

“Ya, aku menangis. Kau sudah tahu kan sekarang? Pergilah! Pulanglah!” Suaranya bergetar, aku tahu dia sangat sedih.

Dengan langkah gontai kutinggalkan Adi yang menekuk mukanya. Kepalaku masih pusing dan kurasakan darah menetes di sela bibirku.

ooOoo

Sungguh di luar dugaanku. Kukira Dela tidak punya perasaan dan kaku. Kukira dia selama ini sebuah patung agung yang hanya bisa kupandang. Ya Tuhan…., ternyata dia mencintaiku.

Aku tak bsia bersikap ketika pagi itu dia masuk dengan sikap yang biasa dan mengucapkan salam. Aku tak pernah tahu dia sebegitu pandai berakting sehingga perasaannya seolah tak ada.

Ah, bodohnya aku! Bukankah pandangan matanya waktu itu, ketika di datang ke rumahku, keringatnya yang menetes di malam yang sedingin itu….Ah, sialan! Aku tak bisa menebaknya. Aku tak akan tahu kalau Adi tidak menunjukkan agenda itu padaku.

Adi……., dia pindah ke bangku belakang sejak pertengkaran kami siang itu. Sekarang aku duduk sendiri. Aku memang tak seberuntung Adi yang mudah disukai siapa saja.

Aneh memang kalau Dela menolak cowok seperti Adi. Apa kurangnya dia? Dia keren, tinggi, putih, cerdas, dan beken.

Dengan penasaran kubuka sebuah buku tulis tebal di bangku Dela. Waktu itu kelas sepi. Hanya ada Retno dan Fajar yang asyik pacaran. Dan seperti dugaanku buku itu penuh dengan puisi dan coretan. Beberapa kali kuperhatikan dia menulis sesuatu dengan serius di buku itu, dan karena itulah aku curiga dan penasaran dengan isinya. Kubalik lembarannya dengan cepat.

Maaf

kepada Adi

gumpalan kata yang kau ucapkan waktu itu…

beberapa kali mengendap di hatiku

walau kau tahu betapa tenangnya aku

Allah….

Cepat-cepat kubalik lagi lembaran kertas itu, aku ingin menemukan puisinya tentang diriku di buku itu.

Untuk Raka:

Pergilah dengan tenang

Tuhan…., berdosakah aku?

Tuhan…., dia memandangku

tajam seperti elang

menyayatku menjadi tujuh bagian dan

membawaku ke neraka

Tuhan….., bencinya menggunung

dan dia

bodoh!

Ya Allah!

berikan sedikit kasih-Mu untuk

mengusirnya dari hatiku

Pergilah kau dengan tenang.

Surabaya, 10 September 1997

Ah, bukankah ini adalah waktu dia tahu kalau madingnya kusobek? Tiba-tiba terlonjak ketika mendengar suaranya. Cepat-cepat kututup buku itu dan berpura-pura mencoret sebuah kertas kosong.

“Raka, pindah sana, aku mau duduk”

Apa ini, tak kudengar geratan suaranya ketika dia menyebut namaku. Dia bersikap biasa. Bahkan matanya juga terlihat tenang. Apa maksudnya? Bukankah dia seharusnya gugup karena aku ada di kursinya, terlebih-lebih buku tebalnya ada di hadapanku? Bukankah seharusnya dia curiga?

ooOoo

Aku benar-benar penasaran dengan Dela. Dia teramat tenang untuk gadis yang sedang jatuh cinta. Tika sudah kuputus dua hari yang lalu. Masih jelas dalam ingatanku wajahnya yang memelas dan air matanya yang turun satu-satu.

“Memangnya Tika salah apa sama Mas Raka, Mas?”

“”Tika nggak salah”

“Lalu, apa alasan Mas mutusin Tika?” dia terisak.

“Nggak ada.”

“Bohong! Tika tahu Mas bohong! Mas Adi bilang kalau Mas Raka jatuh cinta sama Mbak Dela.” Aku diam, aku tidak bisa membantahnya. Haruskah aku berbohong?

“Seharusnya Tika tahu kalau semuanya bakal begini, seharusnya Tika tahu!” Kubiarkan dia pergi meninggalkanku. Dia lari ke kamarnya. Dan dengan kikuk aku pamit pulang kepada mamanya. Mamanya tahu semuanya. Dia memandangku dengan benci.

Tapi walau bagaimanapun ini adalah keputusanku. Tidak bisa aku membiarkan Tika tersiksa terus menerus oleh sikapku yang acuh sejak aku membaca puisi-puisi Dela. Sejak aku jatuh cinta.

ooOoo

Sedikit gelisah aku memperbaiki sikap dudukku. Dela mendekatiku dengan langkah yang biasa (itu yang tak kusuka darinya). Dia membawa selembar kertas bergaris biasa, mungkin sobekan dari salah satu bukunya. Dia tersenyum sambil meletakkan kertas itu di atas mejaku.

Buat Raka:

Perpisahan

Bertemu adalah untuk berpisah

Melalui mata

kutahu, kita berdosa….

Masa bergerak menebas kita tanpa ampun

Dan sebagian dari kita terlibas

Mati!
Dalam sepi

Telusuri tasbih dan asma suci-Nya

Kembali

Kembalilah

Dalam pelukan-Nya

Kita berpisah untuk bertemu

walau sepahit apapun

berpisah untuk dipertemukan-Nya

bila kau percaya

dan Dia berkehendak

Dela

Aku terlongo setelah membaca tulisan itu. Rupanya ini balasan dari surat cinta yang kukirim kemarin.

Dan keesokan harinya kulihat dia memakai jilbab panjang dan duduk dengan manis di kursinya. Dan diam. Dia tak lagi menatapku dengan pandangan yang tajam. Dan aku berusaha tidak menatapnya sejak saat itu. Aku tahu, aku terlalu kerdil untuknya.

Gresik, 12 Nopember 1997

[Dimuat di MRI PERMATA Edisi 25/VI Januari 1998–Naskah kiriman dari pembaca]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *