Adalah Rahasia

oleh: Isnie Annisa

“A-apa? Stadium lanjut?!” ulang Resti tidak percaya.

“Saya tahu ini sulit dipercaya. Memang sebagian besar pasien kanker hati sudah berada dalam stadium lanjut ketika didiagnosis, “ ujar pria setengah baya di depannya. “Tapi itu tidak berarti tidak ada harapan. Saat ini….“

“Dokter…,” potong lelaki muda di samping Resti dengan nada tertahan. “Berapa lama lagi… waktu saya?”

Lelaki itu memandang sang dokter dengan tatapan penuh misteri. Sejenak tidak ada suara di ruangan yang serba putih itu, membuat Resti gemetaran.

“Fian, begini….”

“Katakan saja, Dok,” pintanya lagi.

Dokter itu menghela napas sambil melepas kacamata.

“Tiga bulan.”

***

“Yan, Kakak saja yang menyetir,” ujar Resti sesampainya di tempat parkir.

Fian menoleh ke arah sang kakak dan memandanginya sesaat. Seolah tidak terjadi apa-apa, laki-laki berusia 24 tahun itu masuk ke dalam Honda Jazz hitamnya dari pintu pengemudi. Resti pun tak urung ikut masuk.

“Yan….”

Daijoubu*,” sahutnya sambil menyalakan mesin.

“Yan, kamu tidak bicara sepatah katapun sejak keluar dari rumah sakit.”

Tidak menanggapi, alih-alih Fian menjalankan mobil.

“Kakak tidak perlu khawatir,” tukasnya tanpa ekspresi. “Aku tidak takut pada kematian.”

Resti menggigit bibir, membayangkan bagaimana perasaan adiknya. Di dalam hati, dia ingin menangis sejadi-jadinya. Namun, hal itu hanya akan mempersulit keadaan.

“Saat ini, Fian pasti merasa tertekan,” batinnya.

Selama perjalanan, mereka tidak saling bicara. Masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Sambil menyetir, Fian menumpu kepala dengan tangan kanan ke jendela. Hujan yang turun sepuluh menit yang lalu membuat suasana hari itu bertambah suram bagi Resti. Sesekali dia menoleh ke arah adiknya, memastikannya baik-baik saja.

“Kak,” panggil Fian tiba-tiba.

“Y-ya?”

“Jangan beritahu Mama, juga Papa.”

“A-apa? Tapi….“

“Biar saja semua orang mengira penyakitku hanya maag, seperti dugaanku sampai satu jam yang lalu.”

“Fian, kamu tahu itu tidak mungkin!“

“Aku tidak mau dikasihani,” potong Fian sambil tersenyum.

Resti mendesah, tidak tahu harus mengatakan apa. Senyum Fian terkadang misterius baginya, seakan menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya.

I really didn’t see it coming.” Fian berkata pelan.

“A-apanya?”

“Aku mahasiswa kedokteran yang sudah lulus, ternyata akan mati karena kanker hati yang bahkan aku sendiri tidak sadari gejalanya.”

“Yan, bahkan dokter pun ketika sakit, akan berobat ke dokter lain.”

“Kakak tahu kenapa aku tidak menyadari bahwa aku terkena kanker hati?” tanyanya datar.

“Tadi Dokter Ginanjar bilang, gejala kanker hati sulit dikenali sampai stadium lanjut. Kebanyakan orang mengira bahwa penurunan berat badan juga perut terasa penuh dan terkadang terasa nyeri, hanya gejala maag.”

Rasanya semakin sulit bagi Resti saat mengingat beberapa bulan ini dia mengomentari Fian yang semakin kurus.

“Yan, kamu akan sembuh….”

“Pasien kanker stadium lanjut tidak semudah itu sembuh, Kak.”

“Kita pergi ke rumah sakit terbaik, bahkan kalau perlu ke luar negeri. Teknologi medisnya sudah ada bukan?”

“Memangnya Kakak tahu apa tentang kanker hati?”

Resti tidak menjawab.

“Kakak hanya arsitek interior yang tidak mengerti dunia kedokteran. Bahkan sekarang Kakak lebih sibuk sebagai ibu rumah tangga yang hanya tahu mengurus suami dan anak-anak, memasak, membereskan rumah….”

“Cukup, Yan!”

“Kenapa marah? Aku mengatakan hal yang sebenarnya,” sahutnya lagi. “Begini saja. Aku yang akan memberitahu Kakak tentang kanker hati.”

“Fian, sudah cukup!”

“Biar kuingat-ingat lagi cerita dokter ahli radiologi dari USU yang dua tahun lalu menjadi pembicara di kampus,” ujar Fian sambil menyentuh kening perlahan.

Hepatocellular Carcinoma atau kanker hati seluler menempati urutan kanker nomor sepuluh tersering di dunia dan kelima di Indonesia. Kanker hati mematikan 12 juta orang pertahun di dunia dan lebih dari satu juta orang di Indonesia. Ya, sepertinya begitu.”

Resti menghela napas panjang, memikirkan sikap Fian yang membuatnya sangat bingung. Fian berbicara tentang penyakitnya seperti sedang menceritakan pengalaman serunya bertemu tokoh medis nasional.

“Satu hal lagi. Di Indonesia pasien kanker hati seluler pada fase lanjut meninggal rata-rata 2–6 bulan sejak diagnosis, sekitar 60% diantaranya meninggal dalam 3 bulan. Seperti aku.”

“Fian, jangan siksa diri kamu dengan teori….

“Dengan teori apa, Kak? Dengan teori tentang kanker hati?”

“Kamu tidak perlu bicara betapa mengerikannya kanker hati seperti itu!”.

“Itu kenyataan, Kak, bukan sekedar teori yang aku pelajari selama kuliah. Bahkan bukan hanya tentang kanker hati, tetapi juga kanker mulut rahim, kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker lainnya, aku tahu!”

Resti menggigit bibir kuat-kuat, sejenak menyesali mengapa adiknya terlalu banyak tahu sementara dirinya begitu bodoh.

“Kalau begitu kamu juga pasti tahu rumah sakit mana yang biasa menangani pasien kanker hati bukan? Singapura, Cina, misalnya?”

Lelaki berbalut kemeja panjang biru tua itu terdiam sesaat, memikirkan sesuatu. Sambil menarik lengan kemeja sebelah kirinya ke atas, dia angkat bicara.

I’m not going.

“Apa? Apa maksud kamu?!” seru Resti kaget.

“Aku tidak akan pergi kemanapun. I’ll stay, and face the death.

“Fian!”

“Ya?”

“Kamu tidak seharusnya….“

“Kematian itu sesuatu yang pasti dalam kehidupan, bukan?”

“Ya, tapi…”

“Segala sesuatu yang hidup akan berakhir dengan kematian. Semua materi yang ada di dunia ini suatu saat akan berubah bentuknya, kembali menjadi materi sebelumnya. Seperti itu siklus kehidupan.”

“Sebenarnya apa yang kamu bicarakan?”

“Aku tidak pernah takut pada kematian,” jawabnya. “Tetapi mungkin hanya sedikit menyesalkan.”

Resti semakin tidak memahami isi kepala adiknya itu.

“Aku baru lulus, baru mau mendaftar Koas, belum benar-benar menjadi dokter. Aku juga belum sampai menjadi dokter spesialis…”

“Kalau begitu tidak seharusnya kamu menyerah, Yan.”

“Menyerah?” ulangnya seraya sejenak menatap Resti. “Apa yang membuat Kakak berpikir aku menyerah?”

“Lho? Lantas maksud kamu tidak akan melakukan pengobatan itu….?”

“Ah, itu. Sepertinya Kakak salah paham.”

Kerutan di dahi Resti semakin dalam mendengar kata-katanya.

“Aku hanya ….,” Fian berhenti sejenak.

Kemudian lanjutnya, “Hanya tidak mau berakhir di meja operasi.”

“Aku tidak ingin menghabiskan waktu untuk pengobatan ini dan itu, toh pada akhirnya aku akan mati juga karena penyakit ini. Lebih baik aku menjalani sisa hidupku seperti biasa. Begitu maksudku,” tambahnya datar.

Daun-daun yang berguguran diterpa hujan membuat jalan tampak semakin basah dan berantakan. Hal yang sama terjadi dalam hati Resti.

“Aku tidak tahu caranya berdebat. Aku tidak pernah melakukannya, bahkan semasa kuliah. Aku hanya mahasiswa kuper yang hanya tertarik pada semua yang berbau arsitektur, tidak pernah berminat sama sekali pada aktivitas organisasi mahasiswa. Lantas bagaimana aku harus menghadapi Fian?”

“Bagaimana bisa kamu…?  Hmm … semudah itu…?”

Fian menarik napas.

“Kakak belum mengerti juga rupanya.”

“Aku tidak mau bertaruh.”

“…dengan kematian,” lanjut Fian datar.

“Bertaruh?” ulang Resti bingung. “Bicara apa kamu?”

“Saat ini, kehidupanku, setidaknya sisa tiga bulan ini, menjadi taruhan yang terlalu besar bagiku. Mengorbankannya untuk kehidupan yang hanya 20% kemungkinannya setelah terapi adalah hal yang tidak akan aku lakukan.”

“Kamu pikir kamu bertaruh dengan kematian?!” seru Resti. “Lantas akan ada yang menang dan kalah? Begitu?!”

Fian menarik napas pendek.

“Bagaimanapun, kematian akan selalu menang dari kehidupan,” timpal Fian seraya tersenyum.

“Tetapi., aku yang memilih, tiga bulan lagi atau lebih cepat di rumah sakit.”

“Fian! Kalau kamu seorang dokter dan menghadapi pasien yang putus asa, apa yang akan kamu lakukan?”

“Aku akan bilang, ‘Terapi atau tidak, Anda yang memutuskan, karena ini adalah hidup Anda.’ Begitu.”

“Apa?!”

Tiba-tiba, telepon genggam Fian berbunyi. Dengan malas dia mengeluarkannya dari saku celana. Raut muka Fian semakin tertekuk saat melihat ID Caller di layar telepon.

“Ada apa?” tanya Fian pada lawan bicaranya di telepon.

Resti bertanya-tanya dalam hati siapa yang menghubungi Fian.

“Tidak bisa,” ujar Fian lagi pada orang itu.

“Tidak sekarang, tidak besok, tidak minggu depan, tidak selamanya.”

“Terserah kau sajalah.”

“Siapa, Yan?” tanya Resti tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Fian mengangkat bahu, lantas melemparkan telepon genggamnya ke atas dashboard. Terdengar suara perempuan dari speaker. Fian tidak memutus koneksi karena tangannya sibuk menyetir. Resti pun menekan tombol loudspeaker.

“… aku mencintai kamu sejak dulu, sekarang, dan sampai kapanpun. Aku mencintai kamu seumur hidupku, sampai aku mati, bahkan setelah mati…”

“Halo? Kania?” tebak Resti.

“… kamu dengar itu, Fian?! Selamanya!“ lanjut suara itu.

“Kania, Kania, ini Kak Resti,” kata Resti lagi. “Kamu dengar?”

Tut tut. Fian mematikan telepon. Seketika Resti menoleh ke arahnya, mempertanyakan tindakan itu.

“Si Bodoh itu tidak tahu apa yang dia bicarakan!” tukas Fian.

“Kamu tidak pernah bersikap baik pada Kania sejak ….“

“Aku sudah berusaha,” elak Fian. “Tetapi dia terlalu banyak berharap.”

Resti tertegun sesaat mengingat sosok Kania, teman kecil Fian yang ternyata sangat menyukai adiknya. Hampir 7 tahun, tetapi keadaan tidak pernah berubah. Fian tidak berubah.

“Mencintaiku setelah mati, hah?!” ulang Fian seraya tersenyum sinis. “Konyol sekali!”

“Yan,” panggil Resti perlahan. “Kamu tahu ada apa setelah kematian itu?”

“Maksud Kakak, teori spiritual surga dan neraka; di mana kita akan berakhir? Yang benar saja. Dunia ini hanya sebuah siklus dan kematian hanya satu bagian di dalamnya!”

“Fian,kamu tidak takut pada adanya Hari Pembalasan?”

Fian tersenyum.

“Terkadang orang bukan takut pada apa yang ada setelah kematian, melainkan pada kematian itu sendiri.”

“Apa maksud kamu?”

“Kakak tahu apa itu kematian?” Fian balik bertanya.

“Kamu belum menjelaskan.”

“Aku pernah belajar thanatology, membahas tentang kematian. Definisi kematian ada dua, mati biologis dan mati batang otak. Mati biologis ditunjukkan dengan gejala-gejala seperti henti jantung, hilang refleks kedip jika konjungtiva disentuh dengan kapas, dan lebam mayat pada daerah gravitasi. Sedangkan mati batang otak disebabkan oleh batang otak sebagai pengatur kehidupan, tidak bisa lagi mengeluarkan perintah. Hal ini mengakibatkan berhentinya kesadaran, kerja sistem pernapasan, dan kerja sistem kardiovaskular, yaitu jantung dan pembuluh darah,” terang Fian panjang lebar.

Resti mengerutkan dahi, bukan hanya karena tidak mengerti istilah-istilah yang Fian katakan, tetapi juga tidak memahami jalan pikiran adiknya itu.

“Penyebabnya bermacam-macam, terutama kerusakan karena usia tua, kecelakaan, penyakit. Dalam kasusku, hati adalah tempat sintesis protein-protein yang penting dalam pembekuan darah, imunitas; penawar racun; tempat perombakan eritrosit; metabolisme hormon, obat, dan lain-lain. Jika hati rusak, pasien bisa mengalami pendarahan hebat dan infeksi berat. Jika kanker menyebar ke organ-organ lain, terutama paru-paru, pasien akan mengalami gangguan pernapasan akut.”

Deg! Jantung Resti berdegup kencang membayangkan apa yang sedang terjadi di dalam tubuh Fian saat ini.

“Kakak tahu akhir ceritanya?” tanya Fian enteng.

“Mati,” jawabnya sendiri pun dengan enteng.

“Fian, kamu tidak harus menceritakan hal itu!” jerit Resti histeris.

“Oh ya. Tahu tidak? Sepertinya itu sangat menyakitkan.”

“Tidak ada yang bisa jamin kamu akan mati karena penyakit itu, Yan!”

“Tidak ada yang menjamin?! Kakak sudah lupa dokter bilang apa tadi? Dia bilang aku akan mati 3 bulan lagi!”

“Itu bukan jaminan, hanya perkiraan!”

“Dokter tidak bodoh, Kak!” sanggah Fian.

“Dokter bicara atas dasar ilmunya yang menyangkut anatomi dan fisiologi tubuhku. Dia memperkirakan umurku berdasarkan seberapa lama lagi tubuhku bisa bertahan dari penyakit ini.”

“Tetap saja dia manusia, bukan Tuhan!” seru Resti seraya menarik lengan kiri Fian karena marah bercampur sedih.

“Hei!”

Fian menggerak-gerakkan tangan kirinya, melepaskan genggaman Resti.

“Kematian tidak berkorelasi positif dengan sekedar kerusakan struktur dan fungsi tubuh beserta organ-organnya. Allah yang menentukan kapan seseorang mati, termasuk bagaimana cara dia mati. Mengapa dia mati, itu hanya karena Allah yang berkehendak begitu!”

“Ya, baiklah!” sahut Fian untuk menenangkan Resti.

“Menurut teori spiritual, mungkin begitu. Tapi, lepaskan tanganku. Aku sedang menyetir.”

“Awas!!!”

Ckiiiit. Fian mengerem sekuat tenaga mendengar teriakan Resti.

What’re you doing?!” serunya pada Resti.

“Kamu tidak lihat?! Ada anak kucing di depan!”

“Anak kucing?” tanya Fian sambil mengernyitkan dahi.

“Aku tidak percaya. Hanya karena seekor anak kucing Kakak membahayakan hidup kita?”

Tak diduga, Resti melepaskan sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.

“Hei, Kakak mau apa?!”

“Anak kucing itu. Dia bisa tertabrak kalau tetap di tengah jalan.”

“Apa? Hei, Kak, ini perempatan. Can’t you see that traffic light? It’s going to turn to red.

Resti menatap Fian aneh.

“Sebentar saja, Yan.”

Fian mengerutkan dahi.

“Mungkin aku agak berlebihan. Sebagai penganut teori spiritual yang selalu solat, puasa, dan sebagainya, kakak memang pasti takut pada apa yang dia pikir ada setelah kematian. Padahal aku yang akan mati lebih dulu, tetapi malah dia yang panik.” Batin Fian bicara.

Pandangannya mengikuti gerakan Resti menuju kucing kecil yang sedang mengeong-eong di tengah jalan itu.

“Kenapa tidak biarkan saja kucing itu? Kalau memang sudah waktunya, dia akan mati. Sama sekali bukan urusan kita!” lanjut batin Fian.

“Hei, Kak, cepat! Lampunya sudah merah!” teriak Fian. “Berbahaya kalau sampai ….“

Tiiiinn! Bruak! Tiba-tiba, sebuah benda besar dengan delapan ban muncul dari arah kanan, tepat melintas depan mobil Fian, dengan kecepatan tinggi dan menabrak sesuatu. Dalam sekejap, sosok yang sejak tadi dipandanginya hilang. Fian menahan napas.

***

* Daijoubu = Tidak apa-apa (Bahasa Jepang)

Bogor, 28 Oktober 2008

07.45

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *